Utang Pemerintah Juni Rp 6.554 T, Membengkak Rp 136 T dalam Sebulan

Arief Kamaludin|KATADATA
Ilustrasi.
Penulis: Abdul Azis Said
24/7/2021, 09.29 WIB

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat posisi utang pemerintah pada Juni 2021 sebesar Rp 6.554,56 triliun, naik Rp 1.290,49 triliun atau 24,5% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Jumlah tersebut juga naik Rp 136,4 triliun dibandingkan bulan sebelumnya sebesar Rp 6.418,15 triliun.

Rasio utang pemerintah Juni 2021 terhadap PDB tercatat 41,35% juga mengalami kenaikan signifikan dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 32,67%, dan dibandingkan periode Mei 2021 sebesar 40,49%.

"(Kenaikan utang) terutama disebabkan oleh kondisi ekonomi Indonesia yang masih berada dalam fase pemulihan akibat perlambatan ekonomi yang terjadi di masa pandemi Covid-19," tulis laporan APBN KiTA edisi Juli yang dirilis Jumat, (23/7).

Kenaikan utang Juni terutama disumbang penerbitan surat berharga negara (SBN) yang naik Rp 131,77 triliun dari posisi Mei Rp 5.580,02 triliun menjadi Rp 5.711,79 triliun. Porsinya dari total utang juga naik menjadi 87,14% dari 86,94%.

Utang berbentuk SBN meliputi SBN domestik sebesar Rp 4.430,87 triliun, naik Rp 77,31 triliun dari posisi Mei sebesar Rp 4.353,56 triliun, dan SBN valas sebesar Rp 1.280,92 triliun, naik Rp 54,47 triliun dari Rp 1.226,45 triliun.

Sedangkan pinjaman pemerintah hanya naik Rp 4,63 triliun, dari Rp 838,13 triliun pada Mei menjadi Rp 842,76 triliun. Porsi pinjaman dari total utang sebesar 12,86% turun dari bulan sebelumnya 16,1%. Pinjaman ini terdiri dari pinjaman dalam negeri Rp 12,52 triliun dan pinjaman luar negeri Rp 830,24 triliun.

Kemenkeu juga mencatat realisasi pembiayaan utang pemerintah bulan Juni tercatat Rp 443,036 triliun. Ini terdiri atas penerbitan SBN Rp 463,9 triliun dan pinjaman Rp 20,9 triliun.

Pembiayaan utang pada tahun 2021 digunakan sebagai instrumen untuk mendukung kebijakan countercyclical yang dikelola secara pruden, fleksibel dan terukur, terutama untuk menangani Pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional.

Kebutuhan utang terus meningkat seiring laju penyebaran Covid-19 yang belum terkendali. Namun, pemerintah memastikan untuk mengelola risiko agar utang tetap terjaga dalam batas aman. Berdasarkan UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, batas maksimum rasio utang pemerintah 60% terhadap PDB.

"Pemerintah menggunakan suku bunga tetap atau fixed rate untuk menghindari risiko suku bunga dan menjaga komposisi utang. Upaya lainnya yaitu mengoptimalkan sumber pembiayaan dalam negeri dan menurunkan porsi utang dalam bentuk valuta asing," tulis APBN KiTA.

Pemerintah tampaknya perlu berhati-hati terutama dengan rata-rata waktu jatuh tempo atau average time to maturity (ATM) utang pemerintah yang makin pendek, dari rata-rata 9,39 tahun pada tahun 2015 menjadi 8,7 tahun pada bulan lalu. Kendati demikian, Kemenkeu mengatakan indikator risiko refinancing tersebut masih terjaga.

Nilai utang pemerintah yang terus membengkak menimbulkan kekhawatiran dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). "Tren penambahan utang memunculkan kekhawatiran penurunan kemampuan pemerintah untuk membayar utang dan bunga utang," kata Ketua BPK Agung Firmansyah beberapa waktu lalu, Selasa (22/6).

BPK menyoroti porsi utang pemerintah telah melampaui sejumlah indikator level wajar yang ditentukan Dana Moneter Internasional (IMF).

Rasio debt service Indonesia terhadap penerimaan sebesar 46,77% melampaui rekomendasi IMF sebesar 25-35%. Rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan yang mencapai 19,06% juga melampaui rekomendasi IMF sebesar 7-10%. Rasio utang terhadap penerimaan sebesar 369% melampaui saran IMF 90-150%.

Pemerintah pun menyadari hal ini. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan akan menggunakan saldo anggaran lebih (SAL) tahun 2020 sebesar Rp 150,8 triliun untuk mengurangi penarikan utang. "Dana SAL ini akan kami gunakan untuk mengurangi utang dan menambah untuk anggaran realokasi belanja." kata Menkeu, Kamis, (22/7).

Nilai penarikan SAL tersebut termasuk dengan penggunaan anggaran SAL sebesar Rp 15,8 triliun yang sudah ditetapkan dalam komposisi APBN 2021. Menkeu juga berencana memanfaatkan nilai sisa lebih pembiayaan anggaran (SiLPA) dari realisasi APBN semester I 2021 sebesar Rp 135,9 triliun untuk mengurangi target utang.

Kendati demikian, nilai pastinya masih belum ditentukan karena akan digabungkan dengan rencana realokasi anggaran. "Ini akan kita lakukan optimalisasi seperti tadi untuk penggunaan SAL," ujarnya.

Reporter: Abdul Azis Said