Rupiah Berpeluang Menguat Ditopang Data Inflasi AS

ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
Ilustrasi. Rupiah bergerak menguat ke posisi Rp 14.385 per dolar AS dari posisi pembukaan.
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
12/8/2021, 10.16 WIB

Nilai tukar rupiah dibuka melemah 0,08% ke level Rp 14.395 per dolar AS pada perdagangan di pasar spot hari ini. Namun, analis optimistis rupiah akan menguat ditopang rilis data inflasi Amerika Serikat (AS) yang mulai melambat di tengah kekhawatiran pasar terhadap langkah tapering off bank sentral AS.

Mengutip Bloomberg, rupiah bergerak menguat ke level Rp 14.385 per dolar AS hingga pukul 10.00 WIB dari posisi pembukaan. Kendati demikian masih lebih rendah dari posisi penutupan kemarin di level Rp 14.383 per dolar AS.

Mata uang Asia lainnya bergerak bervariasi. Yen jepang menguat 0,01%, diikuti dolar Taiwan 0,05%, peso Filipina 0,01%, yuan Tiongkok 0,05%, ringgit Malaysia 0,07%. Sementara dolar Hong Kong melemah 0,02% bersama dolar Singapura 0,09%, won Korea Selatan 0,24%, rupee India 0,02% dam bath Thailand 0,15%.

Analis pasar uang Ariston Tjendra memperkirakan rupiah akan bergerak menguat hari ini ke level Rp 14.350, dengan potensi resisten di kisaran Rp 14.400. Potensi penguatan terutama didorong rilis data inflasi Amerika Serikat bulan Juli yang tidak naik signifikan sebagaimana ekspektasi pasar.

"Hasil data tersebut menyingkirkan sementara isu tapering atau pengetatan moneter sehingga dollar AS melemah terhadap nilai tukar lainnya." kata Ariston kepada Katadata.co.id, Kamis, (12/8).

Departemen Ketenagakerjaa AS Rabu malam merilis data indeks harga konsumen (IHK) bulan Juli 5,4% secara tahunan. Kinerja bulan sebelumnya juga berada di angka yang sama yang merupakan inflasi tertinggi sejak Agustus 2008. Kendati demikian, secara bulanan kenaikannya hanya 0,5%, lebih lambat dari kenaikan IHK bulan Juni 0,9% secara month-to-month (mtm).

Komponen inflasi inti masih tumbuh tinggi 4,3% secara tahunan dan 0,3% secara bulanan. Angka ini lebih rendah dibandingkan IHK bulan sebelumnya yang naik 4,5% secara tahunan dan 0,9% secara bulanan. Kenaikan inflasi inti pada bulan Juli juga jadi yang terkecil dalam empat bulan terakhir.

Kenaikan harga sejumlah barang juga mulai melambat, khususnya komoditas yang dalam beberapa bulan terakhir naik sangat signifikan. Penjualan truk dan mobil bekas yang mengalami inflasi 10,5% pada bulan Juni, kemudian susut menjadi 0,2%. Penjualan tiket pesawat juga hanya mengalami inflasi tipis 0,1%.

Kondisi ini memberi dukungan terhadap langkah bank sentral AS, The Federal Reserve yang sampai saat ini belum memberikan pernyataannya resmi terkait langkah tapering off atau pengetatan stimulus di tengah kekhawatiran inflasi yang terus melonjak. Gubernur Fed Jerome Powell berulang kali meyakinkan pasar bahwa harga akan berangsur normal saat rantai pasok mulai membaik.

"Rincian rilis data menunjukkan beberapa pelonggaran mobilitas dan kekurangan pasokan telah mendorong kenaikan harga, dan secara tentatif menunjukkan bahwa inflasi telah mencapai puncaknya" tulis kepala strategi di Principal Global Investors Seema Shah seperti dikutip dari CNBC.

Hasil rapat Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) akhir Juli mengumumkan suku bunga The Fed masih ditahan pada level rendah mendekati nol di kisaran 0% hingga 0,25%. Powell dalam keterangan persnya usai rapat mengatakan Fed akan mempertimbangkan kondisi inflasi dan perbaikan ketenagakerjaan sebelum menarik gas untuk tapering off. Kabar dalam dua minggu terakhir juga mulai memberi sinyal pengetatan akan dimulai dengan mengurangi pembelian obligasi pemerintah mulai Oktober, sementara suku bunga rendah hanya akan bertahan hingga akhir tahun depan.

Meskipun kenaikan harga menunjukkan perlambatan pada bulan Juli, tingkat inflasi masih terbilang tinggi di kisaran 5%, jauh di atas target inflasi 2021 The Fed di kisaran 2%. Ariston mengatakan isu tapering berpeluang kembali lagi bila data-data ekonomi AS lainnya terus menunjukkan perbaikan di tengah pandemi.

Di sisi lain, potensi pelemahan masih membayang-bayangi pergerakan rupiah terutama karena kondisi penanaganan pandemi Covid-19 dunia yang belum menunjukkan tanda perbaikan. "Kekhawatiran pasar terhadap pandemi masih berpeluang menahan penguatan nilai tukar aset berisiko." kata Ariston.

Data Worldometer, jumlah penambahan kasus positif dunia pada (11/8) mencapai 700.607 kasus baru, lebih dari dua kali laporan kasus positif pada pertengahan bulan Juni. Kondisi ini bahkan mulai kembali mendekati rekor tertinggi kasus positif harian yang sempat mencapai 900 ribu pada akhir April lalu.

Reporter: Abdul Azis Said