Pemerintah menargetkan penerimaan pajak dalam RAPBN 2022 mencapai Rp 1.263 triliun, naik dari target dalam APBN 2021 Rp 1.229,58 triliun. Penerimaan pajak pada tahun ini diperkirakan shortfall atau tak mencapai target dan hanya terealisasi Rp 1,142,1 triliun.
Presiden Joko Widodo menjelaskan, penerimaan perpajakan pada tahun ini ditargetkan mencapai Rp 1.506,9 triliun. Target ini lebih tinggi dari APBN 2021 Rp 1.444,54 triliun yang realisasinya diproyeksikan hanya mencapai Rp 1.375,8 triliun.
"Untuk memperkuat kemandirian dalam pembiayaan pembangunan, kita perlu meneruskan reformasi perpajakan," kata Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Pidato Pengantar RAPBN 2021 dalam sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Senin (16/8).
Jokowi mengatakan, pendapatan negara dari komponen penerimaan negara bukan pajak (PNBP) juga akan naik naik dari target tahun ini Rp 298,2 triliun, menjadi Rp 333,2 triliun, sedangkan pendapatan dari hibah Rp 600 miliar. Secara keseluruhan pendapatan negara tahun dalam RAPBN 2020 diperkirakan bisa mencapai Rp 1.840,7 triliun.
Adapun untuk meningkatkan pendapatan perpajakan, Jokowi menyebut pemerintah akan melakukan empat langkah strategis:
- Perluasan basis perpajakan. Langkah ini dilakukan dengan menambahs objek perpajakan dan ekstensifikasi berbasis kewilayahan.
- Peningkatan kepatuhan serta perbaikan tata kelola dan administrasi perpajakan dalam rangka meningkatkan rasio perpajakan.
- Pemberian berbagai insentif perpajakan yang tepat dan terukur diharapkan mampu mendorong percepatan pemulihan.
- peningkatan daya saing investasi nasional, serta memacu transformasi ekonomi.
Berdasarkan Buku II Nota Keuangan Beserta RAPBN TA 2022, realisasi pendapatan negara tahun ini diperkirakan mencapai Rp 1.735,7 triliun. Realisasi penerimaan pajak Rp 1.142,5 triliun, bea dan cukai Rp 233,4 triliun, penerimaan negara bukan pajak Rp 357,2 triliun, dan hibah Rp 600 miliar.
Penerimaan pajak pada tahun ini, antara lain akan berasal dari PPh migas Rp 47,31 triliun dan PPh nonmigas Rp 533,56 triliun. Target PPh migas naik 3,4% dibandingkan outlook 2021, sedangkan PPh nonmigas naik 9,3%.
Penerimaan PPN dan PPnBM juga ditargetkan naik 10% dari outlook APBN 2021 menjadi Rp 552,3 triliun dalam RAPBN 2022. Pajak Bumi dan Bangunan naik 23,8% menjadi Rp 18,38 triliun, dan pajak naik lainnya naik 7% menjadi Rp 11,38 triliun.
Di samping menggenjot pendapatan perpajakan, pemerintah juga melakukan sejumlah upaya untuk memaksimalkan pendapatan dari PNBP. Langkah yang dilakukan antara lain:
- Memperbaiki proses perencanaan dan pelaporan PNBP dengan menggunakan teknologi informasi yang terintegrasi.
- Memperkuat tata kelola dan pengawasan PNBP.
- Mengoptimalkan pengelolaan aset. Keempat, mengintensifkan penagihan dan penyelesaian piutang PNBP.
- Mendorong inovasi layanan dengan tetap menjaga kualitas dan keterjangkauan layanan.
Pemerintah bersaman dengan DPR saat ini tengah membahas Revisi Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan. Dalam Revisi UU tersebut, salah satu sulan pemerintah adalah program peningkatan kepatuhan wajib pajak berupa pengungkapan aset yang tidak dilaporkan dalam kegiatan pengampunan pajak atau tax amnesty pada 2016. Program ini dikenal dengan tax amnesty jilid II.
Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo menjelaskan terdapat dua kebijakan pengungkapan aset dalam RUU KUP. Pertama, pengungkapan aset per tanggal 31 Desember 2015 yang belum dilaporkan pada saat tax amnesty. "Jadi ada kesempatan, mungkin setengah tahun dalam periode 2022 atau 2021 ini," ujar Suryo dalam Rapat Panitia Kerja KUP bersama Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat, Senin (5/7).
Menurut dia, pengungkap aset akan dikenakan pajak penghasilan (PPh) final sebesar 15% dari nilai aset. Namun, tarif akan diberikan sebesar 12,5% jika aset tersebut diinvestasikan ke surat berharga negara (SBN) yang ditentukan pemerintah. Kemudian, WP akan diberikan fasilitas penghapusan sanksi.
Suryo menjelaskan, bagi WP yang gagal berinvestasi dalam SBN terdapat konsekuensi pembayaran 3,5% dari nilai aset jika mengungkapkan sendiri kegagalan investasi atau 5% dari nilai aset apabila kerugian ditetapkan oleh Ditjen Pajak. "Latar belakangnya masih banyak peserta pengampunan pajak yang belum mendeklarasikan. Apabila ditemukan oleh kami, membayar pajaknya 30% final ditambah sanksinya 200%," kata dia.
Kedua, pengungkapan aset WP orang pribadi yang diperoleh pada 2016-2019 dan masih dimiliki namun belum dilaporkan dalam surat pemberitahuan (SPT) 2019. Dengan demikian, akan dikenakan PPh final 30% dari nilai aset atau 20% dari nilai aset jika diinvestasikan dalam SBN yang ditentukan pemerintah.
WP dalam skema ini juga dibebaskan dari sanksi denda administrasi. Bagi WP yang gagal berinvestasi dalam SBN, diwajibkan membayar 12,5% dari nilai aset jika mengungkapkan sendiri kegagalan investas. Sedangkan, bagi yang diungkap oleh Ditjen Pajak, membayar 15%.
Sebelumnya, Ekonom Senior Center of Reform on Economics Yusuf Rendy Manilet menilai, tax amnesty yang digelar pada 2016 tak juga meningkatkan kinerja penerimaan negara dan rasio pajak. “Setelah program tax amnesty jilid I, saya belum melihat peningkatan kinerja perpajakan yang dijanjikan pemerintah. Kita bisa lihat rasio pajak terhadap PDB yang dalam beberapa tahun terakhir itu sebenarnya masih relatif rendah,” kata Yusuf ketika dihubungi Katadata.co.id pada akhir bulan Mei 2021.
Menurut dia, memang terdapat kenaikan dari sisi kepatuhan pajak pasca program tax amnesty. Namun, besarannya masih di bawah target pemerintah maupun standar yang dipatok Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) sebesar 85%.
Berkaca dari kinerja sektor perpajakan tersebut, Yusuf menyarakan pemerintah perlu mempertimbangkan ulang rencana tax amnesty jilid II karena akan berpotensi menemui kegagalan yang sama. Hal ini mengingat psikologi pembayar pajak akan terganggu lantaran kebijakan tersebut belum lama dilakukan.