Pemerintah berencana menaikan lagi tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok tahun 2022. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan kenaikan cukai hasil tembakau tahun depan telah mempertimbangkan beberapa hal.
Pertama, aspek kesehatan yakni prevalensi merokok terutama pada anak-anak. Instrumen cukai dianggap mampu untuk menurunkan prevalensi perokok di Indonesia. Target RPJMN, prevalensi perokok anak-anak usia 10-18 tahun harus turun 9,1% menjadi 8,7% di 2021.
Kedua, tenaga buruh yang bekerja langsung di industri yang berjumlah 158,5 ribu orang dan petani yang berjumlah 2,6 juta orang. Dengan pertimbangan ini, pemerintah mengaku merumuskan kebijakan kenaikan tarif cukai tidak terlalu tinggi.
Ketiga, dari sisi penerimaan negara. Terkait penerimaan negara, pemerintah Joko Widodo (Jokowi) menargetkan cukai dalam RAPBN 2022 sebesar Rp 203,92 miliar. Angka ini naik 11,9% dibandingkan dengan outlook APBN 2021.
Sri Mulyani juga mengatakan pemerintah berencana mengimplementasikan perluasan barang kena cukai (BKC) dengan memperhatikan situasi ekonomi pasca-pandemi Covid-19.
“Barang cukai lainnya perluasannya sudah di-approve DPR seperti plastik nanti akan kami lakukan. Tentu karena kami menyadari terjadi Covid-19, maka kami akan melakukan secara terukur,” ujarnya seperti dikutip dari Antara, Senin (16/8).
Pendapatan cukai tumbuh secara signifikan, selama 2016 hingga 2019 penerimaan negara dari CHT sendiri berkisar 6,3%. Pada kuartal I 2021, realisasi penerimaan cukai Rp 49, 56 triliun atau 27,54 persen dari targetnya. Sedangkan CHT 48,22 triliun atau 27,75 persen dari target.
Penerimaan cukai ini masih didominasi CHT yang berkontribusi hingga 95,9%. Sementara cukai minuman mengandung etil alkohol (MMEA) dan etil alkohol (EA) masing-masing menyumbang 3,9 % dan 0,1%.
Tahun ini pemerintah juga telah menaikan cukai rokok rata-rata 12,5%. Jenis rokok yang dinaikan tarifnya hanya Sigaret Kretek Mesin (SKM) sebesar 13,8% - 16,9 dan Sigaret Putih Mesin (SPM) yang naik 16,5% - 18,4%.
Keempat, faktor pemberantasan rokok ilegal. Rencana kenaikan cukai tak hanya dipengaruhi faktor penerimaan negara, ada juga program penerbitan cukai berisiko tinggi (PCBT) melalui pemberantasan pita cukai ilegal.
Saat rapat kerja dengan Komisi XI pada akhir Januari lalu, Menteri Sri mengungkapkan peredaran rokok ilegal pada tahun lalu cukup tinggi. Kenaikannya mencapai 4,9%. Padahal, dia telah meminta kepada jajarannya agar peredaran rokok ilegal tidak boleh naik melebihi 3% setiap tahunnya.
Menurutnya, kenaikan peredaran rokok ilegal ini disebabkan kenaikan cukai rokok yang cukup tinggi. Sehingga untuk mengantisipasinya perlu dilakukan penegakan hukum yang lebih gencar lagi.
Peningkatan rokok ilegal dipastikan akan bertambah, sehingga langkah pencegahan yang dilakukan Bea dan Cukai harus lebih banyak. "Ini artinya, kenaikan cukai yang terlalu tinggi memang harus disertai dengan penegakan hukum," kata dia.
Meski peredaran rokok ilegal masih tinggi, namun penindakan yang dilakukan Bea dan Cukai terus meningkat. Tahun lalu nilai penindakan mencapai Rp 370 miliar dan 448 juta batang rokok yang disita.
“Ini keempat hal faktor yang menentukan tingkat kenaikan CHT tahun depan,”kata Sri Mulyani.
Respons Industri Rokok
Industri rokok menolak wacana kenaikan cukai rokok tahun depan. Alasannya kenaikan cukai tak hanya memberatkan produsen, petani tembakau yang juga terdampak pandemi Covid-19.
“Justru, kami menginginkan adanya kepastian kebijakan dari pemerintah yang bisa mengurangi beban pelaku industri hasil tembakau (IHT),” kata Ketua Gabungan Perusahaan Rokok (Gapero) Sulami Bahar, dikutip dari Antara, Minggu (15/8).
Dia memaparkan bahwa industri rokok juga berdampak Covid-19 dengan menurunnya permintaan dan daya beli masyarakat. Jumlah masyarakat yang terpapar Covid-19 makin meningkat, akibatnya produsen mengurangi produksi karena penurunan permintaan konsumen.
“Petani kekurangan serapan permintaan dari sektor hilir. Produsen rokok bisa tetap memproduksi seperti saat ini saja sudah syukur,” kata Sulami.
Dhia Al Fajr (Magang)