Pemerintah mencatat, realisasi anggaran daerah untuk penanganan Covid-19 baru mencapai 4,2 triliun atau 11,9% dari pagu Rp 35,1 triliun. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengancam tidak akan menyalurkan Dana Alokasi Umum (DAU) bagi daerah yang realisasi anggarannya masih minim.
"Kalau mereka belum melakukan atau menyampaikan laporan, saya tidak akan transfer dulu anggarannya sampai mereka memberikan laporan supaya kami tahu seberapa komitmennya," kata Sri Mulyani dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR RI bersama Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia, Senin (23/8).
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 17 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Dana Desa TA 2021 dalam rangka Mendukung Penanganan Covid-19 dan Dampaknya, pemerintah daerah diharuskan melakukan earmarking 8% anggaran DAU dan Dana Bagi Hasil (DBH) untuk penangana Covid-19.
Berdasarkan penggunaannya, realisasi anggaran untuk kebutuhan umum baru sebesar Rp 1,7 triliun atau 15,5% dari pagu Rp 10,7 triliun. Anggaran ini dipakai untuk pengadaan obat, alat pelindung diri, serta makanan tambahan bagi isolasi mandiri (isoman).
Realisasi anggaran dukungan operasional untuk vaksinasi juga baru mencapai Rp 400 miliar atau 5,8% dari pagu Rp 6,5 triliun. Lantaran realisasinya yang masih minim, Sri Mulyani berencana mengalihkan anggaran tersebut kepada sejumlah lembaga yang terlibat dalam vaksinasi seperti Polri, TNI, dan BKKBN.
"Nanti kita akan coba agar anggaran Rp 6,5 triliun ini diintersep. Jadi, tidak akan kami berikan kepada daerah dalam bentuk DAU DBH tapi kami akan mengurangi dengan anggaran TNI, Polri dan BKKBN yang sudah memvaksinasi daerah tertentu," ujarnya.
Sementara itu, anggaran untuk dukungan PPKM di kelurahan dan desa baru terpakai Rp 100 miliar atau 8% dari pagu Rp 1,1 triliun. Serta anggaran untuk insentif tenaga kesehatan daerah yang baru terealisasi Rp 900 miliar atau 11,1% dari pagu Rp 8,1 miliar. Sri Mulyani juga menyoroti masih ada beberapa daerah yang belum menyalurkan insentif nakes atau realisasinya 0%.
Peneliti INDEF Dhenny Yhuarta mengatakan, terdapat tiga faktor utama yang menyebabkan lambannya realisasi anggaran Covid-19 daerah. Pertama, ruang fiskal pemerintah daerah sangat terbatas, ini diperparah adanya anggran daerah yang justru mengendap di perbankan.
Kedua, komitmen politik daerah untuk mempercepat realisasi anggaran yang masih minim. Ini diperlambat lagi dengan adanya level birokrasi yang berjenjang pada saat saat ingin mencairkan anggaran.
"Ini mengapa susah juga mengharapkan anggaran pemerintah pusat bisa cepat terealisasi di daerah karena ada jenjang ketentuan administrasi yg berlevel, kemudian tupoksi organisasi juga beragam," ujar Dhenny dalam sebuah diskusi virtual, Senin (26/7).
Ketiga, kebiasaan pemerintah daerah baru akan merealisasikannya pada akhir periode, sehingga kelimpungan saat dihadapkan pada anggaran yang melimpah. Kenati demikian, Dhenny juga menyebut kebiasaan ini juga sering ditemui pada birokrasi di tingkat pusat.
Pemerintah mengalokasikan anggaran belanja negara sebesar Rp 2.708,68 triliun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2022. Dari jumlah tersebut, anggaran sebanyak Rp 770,41 triliun dialokasikan untuk transfer ke daerah dan dana desa (TKDD). Sedangkan, anggaran sebesar Rp 1.938,27 triliun untuk belanja pemerintah pusat.