Bank Indonesia siap memborong obligasi pemerintah atau surat berharga negara (SBN) untuk membiayai APBN hingga dan tahun depan. Hal ini setelah Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan menyepakati Surat Keputusan Bersama (SKB) Jilid III yang memungkinkan bank sentral membeli SBN di pasar perdana.
Dalam dokumen rapat Kementerian Keuangan bersama Bank Indonesia dan Komisi XI DPR RI pada Senin (23/8), kedua lembaga ini sepakat kembali menggelar burden sharing untuk penanganan pandemi Covid-19 varian Delta. Tujuannya terutama untuk membiayai program kesehatan dan kemanusiaan.
Dalam kesepakatan terebut, Bank Indonesia akan melakukan pembelian SBN senilai Rp 215 triliun untuk membiayai APBN 2021 dan Rp 224 triliun untuk APBN 2022. SBN akan diterbitkan dalam mata uang rupiah dan memiliki tenor jangka panjang, yakni 5 tahun, 6 tahun, 7 tahun dan 8 tahun.
Seperti sebelumnya, Bank Indonesia juga akan membeli SBN tersebut melalui private placement berupa SBN new issuance atau penerbitan baru serta reopening atau penerbitakn kembali. Serta obligasi yang akan dibeli juga bersifat tradable dan marketable.
Tingkat bunga yang diterapkan yakni bunga mengambang atau variable rate dengan penyesuaian setiap tiga bulan. Sementara tingkat bunga yang digunakan sebagai acuan mengiktui tingkat suku bunga reverse repo Bank Indonesia tenor tiga bulan berdasarkan rata-rata tertimbang lelang akhir.
Skema kerjasama pembelian SBN oleh Bank Indonesia akan dilakukan dalam dua skema. Dua skema tersebut memiliki ketentuan yang berbeda terkait besaran pembelian, pihak yang akan dibebani pembayaran bunga serta tujuan penggunaan.
Klaster A, jumlah pembelian sebesar Rp 58 triliun untuk tahun ini dan Rp 40 triliun pada tahun depan, dengan tingkat suku ditanggung oleh Bank Indonesia. Pembelian di klaster ini akan dipakai untuk penanganan kesehatan, termasuk percepaatn vaksinasi dan penanganan Covid-19 lainnya.
Klaster B, jumlah pembelian sebesar Rp 157 triliun pada tahun ini dan Rp 184 triliun tahun depan. Namun, tingkat suku bunga akan ditanggung pemerintah. Sementara dana yang terkumpul akan dipakai untuk penangana kesehatan selain yang dibiayai di klaster A, serta pembiayaan untuk program perlindungan bagi masyarakat dan usaha kecil terdampak.
Sokumen rapat tersebut juga mengungkap, kesepakatan SKB III didasarkan pada empat dasar hukum. Ini meliputi, UU No. 23 tahun 1999, UU No 24 tahun 2002, UU No 19 tahun 2008 dan beleid baru UU No 2 tahun 2020 yang juga jadi dasar kesepakatan dua SKB sebelumnya.
SKB III juga memuat sejumlah ketentuan, di antaranya pembelian akan bersifat fleksibel. Artinya, umlah pembelian SBN dan penerbitan dengan pembayaran kontribusi Bank Indonesia dapat dilakukan perubahan. Hal ini menyesuaikan dengan kebutuhan pembiayan anggaran oleh Kementerian Keuangan serta kondisi keuangan Bank Indonesia.
Kesepakatan perubahan pembelian tersebut dilakukan melalui kesepakatan tertulis antara Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia, dan akan disampaikan dalam rapat konsultasi dengan Komisi XI DPR RI.
Selain itu, hasil penerbitan akan ditempatkan pada rekening khusus di Bank Indonesia, yang mana rekening khusus tersebut tidak diberikan remunerasi. Sementara bagi Bank Indonesia, mekanisme akuntasi untuk pembelian akan tercatat sebagai bagian beban bank sentral.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyebut, bank sentral telah membeli obligasi pemerintah senilai Rp 124,13 triliun sepanjang tahun ini hingga 19 Juli. "Pembelian SBN di pasar perdana untuk pendanaan APBN 2021 melalui mekanisme lelang utama sebesar Rp 48,67 triliun dan Rp 75,6 triliun melalui mekanisme lelang tambahan." kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam Konferensi Pers KSSK, Jumat, (6/8).
Sementara itu, Kementerian Keuangan mencatat, hingga paruh pertama tahun ini Bank Indonesia berada di peringkat kedua sebagai pemilik SBN paling banyak. Porsinya mencapai 23,05% terhadap total yang sudah diterbitkan pemerintah. Bank Indonesia hanya berada satu peringkat di bawah sektor perbankan yang menguasai seperempat atau 25,28%. Sementara itu, kepemilikan asing terus susut dalam tiga tahun terakhir, kini hanya mencapai 22,82%, disusul sektor asuransi dan dana pensiun 14,25% dan lain-lain 14,6%.