Bank Indonesia akan kembali membantu pemerintah mendanai APBN 2021 dan 2022 mencapai Rp 439 triliun, di antaranya dengan skema berbagi beban atau burden sharing. Menteri Keuangan Sri Mulyani membantah kesepakatan ini dibuat karena pemerintah kesulitan menarik utang.
"Pemerintah sama sekali tidak ada kesulitan untuk penarikan utang, baik dari pasar domestik maupun global yang berasal dari bilateral dan multilateral." kata Sri Mulyani dalam sebuah koneferensi pers virtual, Selasa (24/8).
Sri Mulyani menjelaskan, keterlibatan Bank Indonesia pada pembiayaan APBN murni karena dorongan untuk berkontribusi mengatasi pandemi Covid-19. Keputusan ini juga diambil setelah bank sentral mempertimbangkan kondisi neraca keuangan lembaga, kemudian melihat ada ruang untuk ikut terlibat mendanai pandemi.
Kementerian Keuangan dan Bank Indonesai sepakat melanjutkan pembelian obligasi pemerintah di pasar perdana setelah terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Jilid III yang akan berlaku hingga akhir tahun depan. Dalam kesepakatan tersebut, bank sentral akan memborong SBN pemerintah melalui private placement.
Mekanisme pembelian SBN tersebut akan dilakukan melalui dua skema. Klaster A, pemerintah akan membeli SBN senilai Rp 58 triliun untuk APBN 2021 dan Rp 40 triliun di APBN 2022. Pada skema ini, Bank Indonesia menyepakati burden sharing sehingga pemerintah tak dibebani dengan pembayaran bunga utang.
Klaster B, pemerintah akan membeli SBN senilai Rp 157 triliun untuk APBN 2021 dan Rp 184 triliun untuk APBn 2022. Bedanya dari klaster A, skema kali ini tidak akan ada burden sharing. Pemerintah akan tetap membayar bunga utang namun dengan tingkat suku bunga yang lebih rendah, yakni reverse repo BI tenor 3 bulan.
Sri Mulyani menjelaskan burden sharing dengan BI membantu pemerintah mengurangi beban biaya bunga utang. Tanpa burden sharing, kenaikan biaya bunga utang dapat mencapai 2% per tahun.
"Dengan adanya SKB ini, kami bisa menurunkan belanja bunga utang terhadap GDP 2,1% hingga 2,5% pada kurun waktu 2021 hingga 2025,
Pemerintah mengalokasikan pembayaran bunga utang sebesar Rp 405,9 triliun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2022. Alokasi ini meningkat 10,8% dari outlook 2021 yang sebesar Rp 366,2 triliun.
Di sisi lain, Sri Mulyani juga menyebut pihaknya telah berulang kali melakukan efisiensi anggaran belanja pemerintah demi menekan penarikan utang. Refocusing anggaran keempat tengah dipersiapkan yakni Rp 26,3 triliun dari belanja Kementerian dan Lembaga (K/L).
Sri Mulyani telah merefocusing Rp 130,9 triliun anggaran K/L dan daerah sepanjang tahun ini dalam tiga tahap. Refocusing pertama dilakukan dengan memangkas Rp 59,1 triliun dari K/L dan Rp 15 triliun daerah. Anggaran itu dipakai untuk memperlebar pagu PEN 2021 di tengah lonjakan kasus pada bulan Februari dan Maret.
Refocusing kedua dilakukan dengan menahan pemberian tunjangan kinerja berupa THR dan gaji K13. Refocusing saat itu menghasilkan anggaran Rp 12,3 triliun. Selanjutnya, refocusing ketiga dengan memangkas Rp 26,2 triliun belanja K/L dan Rp 6 triliun dari daerah. Ini dipakai untuk menambah anggaran PEN 2021 ketika varian Delta melonjak bulan lalu.
Kementerian Keuangan mencatat utang pemerintah pada Juni 2021 sebesar Rp 6.554,56 triliun. Nilai tersebut meningkat 2,1% dari bulan sebelumnya dan 24,5% dari periode yang sama tahun lalu.
Komposisi utang pemerintah masih didominasi oleh penerbitan SBN yang memiliki porsi 87,14% dari total utang dan sisanya berupa pinjaman. Utang berbentuk SBN terdiri atas SBN domestik senilai Rp 4.430,87 triliun dan SBN valas Rp 1.280,92 triliun.
Selain itu, utang pemerintah berupa pinjaman sebesar Rp 842,76 triliun yang sebagian besar merupakan pinjaman luar negeri. Pinjaman yang berasal dari luar negeri tercatat sebesar Rp 830,24 triliun. Sedangkan, pinjaman dari dalam negeri mencapai Rp 12,52 triliun.