Krisis Evergrande dan Lonjakan Kasus Covid-19 Menekan Ekonomi Tiongkok
Bank of America (BofA) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Tiongkok pada tahun ini dari prediksi awal 8,3% menjadi 8%. Pemangkasan proyeksi ini seiring kekhawatiran atas krisis utang Evergrande yang berpotensi meluas, serta lonjakan Covid-19 yang turut menahan pemulihan.
Bank investasi terbesar di AS ini juga memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi pada taun depan dari 6,2% menjadi 5,3% dan prediksi pada 2023 dari 6% menjadi 5,8%. Berbagai masalah yang menahan pertumbuhan tahun ini diramal akan makin parah pada tahun depan.
"Setiap penundaan lebih lanjut dalam respons kebijakan dari kuartal keempat 2021 hingga kuartal pertama 2022 atau kesalahan penanganan default debitur besar berpotensi meningkatkan risiko dislokasi pertumbuhan," kata analis dari BofA dalam catatannya dikutip dari Reuters, Selasa (21/9).
Sektor real estat menyumbang seperempat produk domestik bruto (PDB). Namun, salah satu raksasa properti Tiongkok, Evergrande tengah menghadapi risiko gagal bayar utang dalam jumlah besar. BofA mengatakan, skenario dasar dari masalah yang sedang berlangsung di Evergrande yakni kemungkinan akan adanya sedikit efek limpahan pada sektor properti secara keseluruhan dan pasar keuangan. Ini terjadi jika pemerintah memfasilitasi restrukturisasi utang yang teratur.
Evergrande diketahui memiliki utang sekitar US$ 305 miliar, atau setara Rp 4.343 triliun. Ujian utama untuk Evergrande datang minggu ini. Perusahaan haarus membayar kupon senilai US$ 83,5 juta terkait dengan obligasi jatuh tempo Maret 2022 pada hari Kamis. Selain itu, perusahaan juga ditagih pembayaran US$ 47,5 juta lainnya pada 29 September untuk kupon obligasi dengan jatuh tempo Maret 2024.
Evergrande juga diketahui melewatkan pembayaran bunga yang jatuh tempo pada Senin kepada setidaknya dua kreditur bank terbesarnya. Pembayaran yang terlewat ini sebenarnya sudah diprediksi oleh Kementerian yang menaungi urusan perumahan Tiongkok.
Kedua obligasi akan gagal bayar jika Evergrande gagal melunasi bunga dalam waktu 30 hari dari tanggal pembayaran yang dijadwalkan. Hal ini memicu kekhawatiran pasar bahwa krisis akan menjadi 'Momen Lehman' di Tiongkok, yang merujuk pada krisis keuangan 2008 oleh raksasa investasi AS Lehman Brothers yang juga bermula dari krisis di sektor properti.
Beban kewajiban total korporasi setara kurang dari 2% terhadap PDB Tiongkok. Ini menjadi sinyal kuat untuk mendorong Beijing mengambil sikap untuk mencegah guncangan ekonomi yang lebih luas. S&P Global Ratings memperkirakan bahwa kemungkinan bailout sangat kecil, Xi Jinping mungkin baru akan turun tangan jika kekacauan di Evergrande menimbulkan risiko sistemik terhadap perekonomi.
Namun, kekhawatiran terhadap Evergrande bukan satu-satunya alasan BofA memangkas prospek ekonomi negeri tirai bambu tahun ini. Data ekonomi yang dirilis beberapa pekan terakhir menunjukkan pemulihan ekonomi yang masih lemah di tengah lonjakan Covid-19 di sejumlah wilayah.
Biro Statistik Nasional (NBS) pekan lalu melaporkan, output produksi tumbuh 5,3% secara year-on-year (yoy) pada Agustus. Namun ini lebih lambat dari peningkatan 6,4% pada Juli dan menandai laju terlemah sejak Juli 2020. Selain itu pertumbuhan output meleset dari kenaikan 5,8% yang diperkirakan oleh para analis.
Belanja konsumen juga mendapat pukulan besar dari meningkatnya kasus Covid-19 lokal dan banjir awal bulan lalu. Penjualan ritel hanya naik 2,5% secara yoy pada Agustus. Capaian ini jauh lebih rendah dari perkiraan kenaikan 7,0% dan juga tercatat pertumbuhan paling lambat sejak Agustus tahun lalu.
Pertumbuhan ekonomi Tiongkok melambat pada kuartal kedua tahun ini sebesar 7,9% secara tahunan, setelah mencapai puncaknya pada kuartal pertama tahun ini 18,3%.