Menteri Keuangan Sri Mulyani mewaspadai tiga gejolak eksternal yang dapat berisiko pada pemulihan ekonomi domestik. Salah satunya, yakni alotnya pembahasan penangguhan batas utang pemerintah AS yang berpotensi menyebabkan penutupan pemerintahan hingga gagal bayar utang pemerintah.
"Ada beberapa persoalan, seperti terjadinya pembahasan di bidang fiskal, yaitu batas utang di Amerika Serikat. Ini menjadi faktor yang harus kita waspadai," kata Sri Mulyani dalam Diskusi Virtual Bertajuk Forum Indonesia Bangkit oleh CIMB Niaga, Rabu (29/9).
Ancaman lainnya yang juga datang dari AS adalah rencana tapering off alias pengetatan stimulus oleh bank sentral AS (The Fed) yang diprediksi mulai akhir tahun ini. Ada pula krisis utang yang sedang dihadapi raksasa properti Tiongkok Evergrande.
"Sambil melihat dan menjaga pemulihan ekonomi, kita tidak boleh lengah dengan perubahan global yang begitu sangat dinamis," ujar Sri Mulyani.
Peringatan Sri Mulyani tersebut bukan tanpa alasan. Sejumlah pihak mulai mewanti-wanti potensi 'bencana' ekonomi yang ditimbulkan jika Senat AS gagal mencapai sepakat untuk menangguhkan atau menaikan batas utang pemerintah. Dalam RUU baru yang diusulkan partai Demokrat, penangguhan batas utang diusulkan hingga Desember 2022.
Pemungutan suara di Senat pada Senin (27/9) berakhir dengan kemenangan oposisi yakni Partai Republik 50-48. Partai Demokrat sebagai pihak yang mengusulkan RUU ini perlu mendapat dukungan 60 suara jika ingin lolos. Sementara partai Demokrat hanya memiliki waktu hingga Kamis malam (30/9) sebelum tahun fiskal berakhir.
Jika RUU gagal diloloskan, maka pemerintah bersiap untuk menghadapi risiko default atau gagal bayar yang diprediksi terjadi pada 18 Oktober nanti. Selain itu, pemerintah juga terpaksa shutdown alias tutup untuk sementara waktu karena kehabisan pendanaan.
Menteri Keuangan Amerika Serikat Janet Yellen pada Selasa (28/9) menyurati DPR AS untuk mengingatkan bahwa regulator hanya memiliki waktu kurang dari tiga minggu meloloskan RUU penangguhan batas utang. Yellen memperingatkan potensi bencana ekonomi besar jika beleid tersebut gagal disepakati.
"Kami sekarang memperkirakan bahwa Departemen Keuangan kemungkinan akan kehabisan langkah-langkah luar biasa jika Kongres tidak bertindak untuk menaikkan atau menangguhkan batas utang hingga 18 Oktober," tulisnya dalam surat yang dialamatkan kepada DPR AS seperti dikutip dari CNBC, Selasa (28/9).
Yellen kembali mengungkit masalah ini dalam pidatonya di depan Komite Perbankan Senat AS pada pertemuan kemarin. Dalam pernyataannya, kegagalan regulator menyetujui RUU penangguhan batas utang akan berakibat pada default atau gagal bayar utang pemerintah untuk pertama kalinya dalam sejarah dan memiliki konsekuensi besar terhadap ekonomi AS.
"Kepercayaan penuh dan kredit Amerika Serikat akan terganggu, dan negara kita kemungkinan akan menghadapi krisis keuangan dan resesi ekonomi," ungkap Yellen dalam sambutannya kepada Komite Perbankan Senat.
Pemerintah AS tidak pernah mengalami gagal bayar utang sebelumnya, karena itu para ekonom harus mengandalkan prakiraan dan tebakan ketika mencoba memperkirakan kejatuhan ekonomi yang akan ditimbulkan oleh default. Namun, sebagian besar ekonom mengatakan default seperti itu akan membawa bencana keuangan yang dapat memicu aksi jual pasar yang luas dan ekonomi yang kembali lesuh di tengah kenaikan suku bunga.
"Kita bisa memperkirakan bahwa akan ada lonjakan suku bunga jika plafon utang tidak dinaikkan," kata Yellen.
Bank Investasi Terbesar Amerika Serikat, JPMorgan Chase juga mulai mempersiapkan kemungkinan gagal bayar utang pemerintah AS. JPMorgan merupakan kreditur terbesar di AS yang sebagian besar pinjamannya juga diberikan kepada pemerintah. Perusahaan mulai mempersiapkan skenario terkait potensi default atau gagal bayar utang pemerintah yang diprediksi dapat mempengaruhi pasar repo dan pasar uang, kontrak klien, hingga berefek ke rasio modal perusahaan.
"Ini tampak seperti ketiga kalinya kami harus melakukan ini, ini kondisi yang berpotensi bencana," kata Kepala Eksekutif JPMorgan Chase Jamie Dimon seperti dikutip dari Reuters, Selasa (28/9).
Dimon juga menyayangkan lambatnya pembahasan di tingkat Senat karena tarik ulur kepentingan politik. Dia mengatakan setiap kali utang mendekati batas atasnya, regulator biasanya bisa menyelesaiakan dengan baik tetapi kali ini berbeda karena tenggat waktunya sisa menghitung hari.
"Saya hanya berpikir semua ini salah dan suatu hari kita harus memiliki RUU bipartisan dan menyingkirkan adanta pagu utang. Ini semua kepentingan politik ," kata Dimon.
Dimon mengatakan sebagai bagian dari persiapannya, perusahaan sedang menyisir kontrak klien untuk memprediksi berbagai risiko. Ia mengungkap proses ini sangat menguras sumber daya karena terakhir kali perusahaan melakaukannya telah menghabiskan dana US$ 100 juta.