Pemerintah batal menurunkan tarif Pajak penghasilan (PPh) badan dari saat ini sebesar 22% menjadi 20% pada tahun depan sesuai amanat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020. Hal ini seiring dengan ditetapkannya tarif PPh badan sebesar 22% dalam Rancangan Undang-undang Harmoniasasi Perpajakan (RUU HPP) yang disepakati DPR hari ini.
"Sejalan dengan tren perpajakan global yang mulai menaikkan PPh tetapi tetap menjaga iklim investasi, maka tarif PPh badan tetap sebesar 22% untuk tahun pajak 2022 dan seterusnya," kata Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna Laoly dalam pernyataannya dalam Rapat Paripurna DPR RI, Kamis (7/10).
Yasonna beralasan tarif PPh badan di Indonesia saat ini cenderung lebih rendah dari beberapa negara lain. Rata-rata tarif PPh badan di negara ASEAN sebesar 22,17%, negara-negara OECD sebesar 22,8% , Benua Amerika 27,16%, dan negara-negara anggota G20 sebesar 24,17%.
Meski demikian, WP badan dapat memperoleh pengurangan tarif sebesar 3% dengan tiga ketentuan sebagaimana dalam draft RUU HPP yang disepakati dengan Komisi XI pekan lalu. Pertama, berlaku bagi wajib pajak (WP) badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka (PT). Kedua, WP badan memiliki jumlah keseluruhan saham yang disetor dan diperdagangkan di bursa efek Indonesia paling sedikit 40%. Ketiga, harus memenuhi persyaratan tertentu.
Draf RUU HPP tak menjelaskan lebih perinci terkait persyaratan tertentu yang harus dipenuhi wajib pajak emiten untuk memperoleh insentif pajak tersebut. Namun, dalam UU Nomor 2 Tahun 2020, persyaratan yang harus dipenuhi emiten, mencakup:
- Saham harus dimiliki oleh paling sedikit 300 pihak.
- Masing-masing pihak hanya boleh memiliki saham kurang dari 5% (lima persen) dari keseluruhan saham yang ditempatkan dan disetor penuh;
- Harus dipenuhi dalam waktu paling singkat 183 (seratus delapan puluh tiga) hari kalender dalam jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak; dan
- Dilakukan oleh Wajib Pajak Perseroan Terbuka dengan menyampaikan laporan kepada Direktorat Jenderal Pajak.
Pemerintah sebelumnya berjanji akan menurunkan tarif PPh badan dari 25% tahun lalu menjadi 22% pada tahun ini dan 20% pada tahun depan. Hal ini sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 30 tahun 2020 tentang Penurunan Tarif Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang Berbentuk PT.
Di samping mempertahankan tarif PPh badan, Yasonna juga menyebutkan bahwa keberadaan beleid baru ini akan menjadi payung hukum dalam rangka mencegah penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba oleh perusahaan multinasional. Selain itu, pemerintah juga menyetujui usulan DPR untuk menghapuskan ketentuan Pajak Minimum Alternatif (AMT). Ini bertujuan untuk menjaga iklim dunia usaha dan investasi tetap kondusif.
Pemerintah sebelumnya mengusulkan adanya ketentuan AMT di dalam RUU HPP. Ketentuan ini memungkinkan pemerintah tetap memajaki badan usaha sekalipun melaporkan kerugian. Rencananya tarif pajak minimum ini sebesar 1% terhadap penghasilan bruto.
Kendati demikian, ketentuan ini sempat menuai penolakan khususnya pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang terpukul selama pandemi. Pengenaan pajak tersebut dirasa memberatkan karena kondisi perekonomian yang belum membaik.
“Kami menolak ketentuan-ketentuan yang merugikan bagi UMK. Bahkan selama ini kami meminta agar 0% saja, tapi kalau dibuat menjadi 1% kita menolak, tidak tepat kebijakan tersebut diterapkan dalam keadaan seperti ini,” kata Ketua Umum Asosiasi UMKM Ikhsan Ingratubum dalam konferensi pers akhir Agustus lalu.
Jika kebijakan pajak minimum diberlakukan bagi UMK, menurut Ikhsan, banyak usaha yang akan kolaps. Dia membeberkan, ada hampir 30 juta UMKM yang mengalami kebangkrutan sejak 20 juli 2020. UMKM sempat menunjukan tanda-tanda pulih pada pertengahan Desember tahun lalu. Namun kembali terpukul seiring adanya kebijakan PPKM sejak Juli.