Kemenkeu Ramal Kenaikan Tarif PPN 11% Tak Ganggu Pemulihan Ekonomi

ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/rwa.
Pengunjung mengamati sepatu di salah satu tenant saat hari pertama pembukaan mal di Beachwalk Shopping Center, Kuta, Badung, Bali, Rabu (8/9/2021).
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Yuliawati
12/10/2021, 17.32 WIB

Pemerintah akan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bertahap dari 10% menjadi 11% mulai April 2022. Kemudian tarif menjadi 12% paling lambat 1 Januari 2025. Kementerian Keuangan menyebut kebijakan tersebut dapat membantu meningkatkan penerimaan negara.

"Kenaikan tarif PPN ini tidak bertentangan dengan proses pemulihan ekonomi, karena sejumlah PPN untuk kebutuhan pokok, edukasi, layanan kesehatan dan sosial tetap dikecualikan," kata Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara dalam Acara International Tax Conference 2021, Selasa (12/10).

Dia menyebut kenaikan tarif PPN dapat meningkatkan penerimaan negara lewat pengumpulan dari pajak digital. Implementasi penarikan PPN pun melalui cara-cara yang baik. "Kami akan memastikan bahwa masyarakat miskin tidak akan membayar PPN untuk konsumsi item tersebut," kata Suahasil.

Kenaikan PPN ini dikhawatirkan makin melemahkan daya beli masyarakat. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia Adhi S. Lukman mengatakan dampak kenaikan PPN akan mengerek harga produk makanan dan minuman.



Selain kenaikan tarif PPN menjadi 11%pada tahun depan, harga jual produk akan mengalami kenaikan karena adanya peningkatan biaya produksi yang dipengaruhi oleh kenaikan harga bahan baku selama pandemi. “Ketika tahun depan ada penyesuaian PPN, ditambah biaya produksi yang meningkat, saya perkirakan juga akan ada kenaikan harga, karena pada 2020 sampai saat ini pelaku usaha masih menahan untuk tidak menaikkan harga produk,” kata Adhi kepada Katadata, Jumat (8/10).

Pengamat Pajak Institute For Development of Economics and Finance Nailul Huda mengatakan, kenaikan tarif PPN akan menahan konsumsi terutama untuk pembelian barang nominal besar seperti rumah dan mobil.

"PPN 10% dari Rp 600 juta saja itu sudah Rp 60 juta sendiri, bagaimana nanti dinaikkan," kata Nailul.

Padahal, menurut dia, konsumsi masyarakat yang menjadi indikator utama pertumbuhan ekonomi saat ini mulai kembali meningkat. Pada kuartal pertama tahun ini, konsumsi masyarakat masih tercatat minus 2,23% sehingga menyebabkan perekonomian turun 0,74%. Konsumsi rumah tangga dan investasi menyumbang 88,91% struktur pertumbuhan ekonomi berdasarkan pengeluaran.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI sepakat untuk meloloskan peraturan perpajakan baru yang kemudian dikenal sebagai Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Melalui beleid ini, pemerintah merubah sejumlah ketentuan perpajakan salah satunya pada klaster Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Pemerintah semula berencana memberlakukan skema multi-tarif, yakni memberlakukan tarif umum yang saat ini 10%, multi-tarif dengan rentan 5%-15%, serta tarif khusus berupa PPN 'final' untuk barang dan jasa tertentu antara 1%-3%. Kendati demikian, dalam Rapat Paripurna DPR RI pekan lalu, pemerintah batal memasukkan skema multi-tarif dalam beleid tersebut, sehingga hanya berlaku tarif umum dan PPN 'final'.

"Pembatalan skema multi-tarif PPN ini mempertimbangkan kondisi masyarakat dan dunia usaha yang belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi Covid-19," kata Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna Laoly yang merupakan perwakilan pemerintah dalam Rapat Paripurna pengesahan UU HPP di Senayan, Kamis (7/10).

Yasonna menyebut, keputusan pemerintah untuk tetap menaikkan PPN lantaran tarif yang dikenakan Indonesia saat ini lebih kecil dibanding banyak negara lain di Asia. Ia membandingkan dengan Filipina yang memiliki PPN 12%, Cina 13%, Arab Saudi 15%, Pakistan 17% serta India 18%. Selain itu rata-rata PPN dunia saat ini sebesar 15,4%.

Reporter: Abdul Azis Said