Rupiah dibuka stagnan di level Rp 14.218 per dolar AS pada perdagangan pasar spot pagi ini. Mata uang garuda diramal akan menguat tipis seiring dengan penurunan tingkat imbal hasil obligasi pemerintah AS.
Mengutip Bloomberg, mata uang Asia lainnya mayoritas bergerak menguat. Yen Jepang 0,22%, dolar Hong Kong 0,01%, dolar Singapura 0,18%, dolar Taiwan 0,08%, won Korea Selatan dan bath Thailand kompak menguat 0,42%, peso Filipina 0,36%, yuan Cina 0,03% dan ringgit Malaysia 0,05%. Sedangkan rupee India melemah 0,21%.
Analis pasar uang Ariston Tjendra memperkirakan nilai rukar rupiah menguat hari ini ke level Rp 14.200, dengan potensi resisten di kisaran Rp 14.230 per dolar AS. Penguatan ditopang pergerakan yield US Treasury yang berangsur turun setelah terus naik sejak akhir bulan lalu.
"Nilai tukar rupiah mungkin bisa menguat terbatas hari ini menyusul terkoreksinya yield obligasi pemerintah AS," kata Ariston kepada Katadata.co.id, Rabu (13/10).
Imbal hasil US Treasury tenor 10 tahun terpantau di level 1,57% pada pembukaan pagi ini, setelah beberapa hari terakhir tertahan di atas 1,6%. Ariston menyebut tren ini mengindikasikan pasar yang masih mengantisipasi rencana tapering off bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed).
The Fed diramal akan mengumumkan rencana tapering dalam rapat Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) bulan depan. Rencana pengurangan pembelian aset kemudian diperkirakan mulai berlaku Desember 2021 dan berakhir pada pertengahan tahun depan. Sementara kenaikan suku bunga diramal akan lebih cepat, yakni pada paruh kedua 2022.
Selain itu, Ariston juga meramal penguatan rupiah masih akan dipengaruhi adanya tren kenaikan harga komoditas global, khususnya komoditas tambang. Tren ini memberi kabar positif terhadap kinerja neraca dagang RI yang akan dirilis akhir pekan ini.
Harga komoditas tambang ditutup menguat semalam. Tembaga menguat 0,08%, harga alumunium naik 0,13%, zinc melompat 1,03% serta timah naik 0,25%. Harga perak juga naik 0,19% serta emas 0,07%. Kemudian harga minyak mentah WTI dan Brent kompak naik tipis 0,01%, sementara gas alam terkoreksi 1,80%.
Namun Ariston juga memberikan catatan bahwa kurs garuda mungkin hanya akan naik tipis. Ia melihat pasar masih mewaspadai ancaman pelambatan ekonomi global karena tersendatnya pasokan energi dan juga kebijakan tapering AS yang mungkin akan diberlakukan dalam waktu dekat.
"Isu-isu tersebut mendorong pasar keluar dari aset berisiko dan bisa membatasi penguatan rupiah," kata Ariston.
Krisis energi menjadi kekhawatiran baru beberapa pekan terakhir. Beberapa negara seperti Inggris, Cina hingga India tengah berjuang menghadapi keterbatasan pasokan energi. Terbaru, Amerika Serikat juga mulai khawatir persediaan gas yang ada tidak mencukupi untuk menghadapi musim dingin. Sejumlah perusahaan dilaporkan akan beralih ke batu bara untuk menutupi kekurangan tersebut.
Sementara itu, analis pasar uang Bank Mandiri Rully Arya Wisnubroto memperkirakan rupiah masih cenderung stabil di kisaran Rp 14.175-Rp 14.245 per dolar AS. Selain terpengaruh tren kenaikan harga komoditas, rupiah berpeluang menguat ditopang ekspektasi perbaikan ekonomi domestik.
"Secara umum, kondisi ekonomi Indonesia juga menunjukkan perkembangan positif dan pandemi terkendali sehingga kepercayaan investor meningkat," kata Rully.
Dana Moneter Internasional (IMF) kembali memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Produk Domestik Bruto (PDB) RI tahun ini diprediksi hanya tumbuh 3,2% dari perkiraan bulan Juli 3,9%. Sementara itu, pemerintah masih optimistis pertumbuhan ekonomi tahun ini akan tepat sasaran di level 3,7%-4,5%.
Di sisi lain, Rully menyebut potensi pelemahan masih akan membayangi pergerakan nilai tukar hari ini. Ia mengatakan tren kenaikan harga minyak yang di tengah krisis energi di berbagai dunia akan mempengaruhi inflasi di AS tertahan di level tinggi.
"Pasar akan menunggu publikasi data inflasi AS yang dikhawatirkan mengalami kenaikan karena dampak kenaikan harga minyak," kata Rully kepada Katadata.co.id
Berdasarkan survei Dow Jones, ekonom memperkirakan inflasi Agustus sebesar 0,3% secara bulanan, dan 5,3% secara tahunan. Inflasi diperkirakan masih akan tertahan tinggi di tengah permasalah rantai pasok yang belum terselesaikan, kemudian diperparah kenaikan harga energi dan biaya sewa dan medis.