Center for Indonesia's Startegic Development Initiatives (CISDI) memperkirakan kenaikan cukai rokok justru dapat memberi dampak positif di sejumlah sendi perekonomian.
Dalam hitungan CISDI, kenaikan cukai hingga 45% berpotensi mengerek output perekonomian hingga Rp 26,2 triliun, menciptakan ratusan ribu tenaga kerja baru, hingga tambahan pendapatan negara.
Penasehat Riset CISDI Teguh Dartanto mengatakan dengan adanya kenaikan cukai rokok bisa dipastikan harga rokok juga akan naik. Kondisi ini bisa menurunkan konsumsi terhadap rokok.
Namun, permintaan terhadap produk non-rokok akan meningkat karena adanya pengalihan konsumsi. Kondisi tersebut yang kemudian akan mendorong peningkatan output ekonomi secara keseseluruhan.
"Tapi kalau orang tidak beli rokok, uang yang ada akan dipakai untuk belanja lainnya, misalnya makanan, telur, daging. Dengan demikian industri selain rokok berkembang, ini yang selama ini kita lupakan," kata Teguh dalam webinar Diseminasi Riset: Dampak Makroekonomi Kebijakan Cukai Tembakau, Kamis (21/10).
Dia menjelaskan jika cukai dinaikkan 30% dari tarif 2019, maka akan menyebabkan permintaan terhadap produk tersebut turun Rp 7 triliun.
Kendati demikian, ini akan dikompensasi oleh kenaikan konsumsi masyarakat untuk komoditas non-rokok hingga Rp 7,2 triliun. Belanja pemerintah yang diperoleh dari kenaikan cukai rokok diperkirakan mencapai Rp 18,5 triliun.
Sehingga secara keseluruhan memberi tambahan output ke perekonomian sampai Rp 18,7 triliun.
Kemudian apabila kenaikan tarifnya lebih agresif hingga 45%, maka penurunan permintaan rokok diperkirakan mencapai Rp 25,5 triliun.
Meski begitu, konsumsi masyarakat untuk barang non-rokok akan naik lebih besar yakni Rp 26,1 triliun, serta belanja pemerintah yang didorong kenaikan cukai juga naik Rp 25,6 triliun.
Secara keseluruhan tarif tersebut akan memberi tambahan output perekonomian sampai Rp 26,2 triliun.
"Industri rokok itu kontribusinya besar dalam ekonomi, tapi kalau asumsi bahwa kenaikan cukai dapat membuat industri rokok kolaps yang kemudian ekonomi juga kolaps, itu tidak ada buktinya kalau berdasarkan riset ini," kata Teguh.
Ia kemudian menghitung kenaikan tarif dengan potensi tambahan pendapatan negara. Denga simulasi yang sama dengan membandingkan tarif yang berlaku tahun 2019, kenaikan cukai 30% berpotensi menambah pendapatan negara Rp 5,72 triliun.
Kemudian kenaikan tarif 45% akan mendongkrak penerimaan hingga Rp 7,92 triliun.
Selanjutnya dari sisi serapan tenaga kerja, kenaikan cukai rokok hingga 30% akan mendorong pengurangan tenaga kerja 27,3 ribu di industri tersebut.
Kendati demikian ini dikompensasi dengan penambahan tenaga kerja baru hingga 99,1 ribu di keseluruhan perekonomian.
Begitu juga dengan kenaikan tarif 45%, akan mendorong pengurangan tenaga kerja di sektor industri rokok sampai 98,9 ribu, tapi akan ada 148,8 ribu tenaga kerja baru di sektor ekonomi secara keseluruhan.
Kendati demikian, Teguh juga memperingatkan bahwa hasil riset juga menunjukkan terdapat hubungan U terbalik antara kenaikan tarif cukai dengan potensi pendapatan negara.
Kenaikan tarif melebihi 46% dapat berdampak negatif bagi pendapatan negara.
"Sampai kenaikan 46% itu penerimaan negara tidak akan menurun, tapi setelah itu memang terjadi penurunan penerimaan negara karena penurunan dari konsumsinya jauh lebih besar dibandingkan penerimana dari negara," kata Teguh.
Riset yang dibuat Teguh tersebut menggunakan metode dalam ekonomi perencanaan, yakni keseimbangan ekonomi.
Analisis yang digunakan yakni model input-output, dimana terdapat keterkaitan antar industri di dalam perekonomian.
Selain itu, data tarif yang menjadi pembanding yakni rata-rata tertimbang tarif cukai dan harga jual eceran (HJE) tahun 2017 dan 2019. Juga, perhitungan dengan mengasumsikan bahwa pajak rokok dan pajak pertambahan nilai (PPN) tidak berubah.
Dalam analisis tersebut, Teguh juga menggunakan simulasi perubahan konsumsi rokok berdasrakan dua komponen, yakni elastisitas harga sendiri dan elastisitas harga silang. Sementara koefisien elastitas yang dipakai yakni pendekatan Deaton tahun 1988.