Negara-negara di dunia membutuhkan anggaran jumbo untuk menghadapi tantangan perubahan iklim. Untuk itu, Bank Dunia selaku lembaga keuangan global berkomitmen menyediakana dana pembiayaan perubahan iklim US$ 125 miliar atau setara Rp 1.783 triliun hingga lima tahun ke depan.
"Grup Bank Dunia menyediakan seperempat dari semua pembiayaan iklim publik untuk negara-negara berkembang, lebih dari separuh pembiayaan multilateral, dan dua pertiga dari pembiayaan adaptasi," kata Presiden Bank Dunia David Malpass dalam Sesi II: Climate Change dan Lingkungan pada Pertemuan Pimpinan G20, Minggu (31/10).
Di depan pemimpin negara-negara anggota G20, Malpass juga menyarankan agar pembanguan global diintegrasikan dengan tujuan penangana perubahan iklim. Ia meminta agar pemerintah menciptakan lingkungan bisnis dan kebijakan yang selaras dengan komitemn Nationally Determined Contributions (NDCs) yang dimiliki setiap negara.
Seperti diketahui, dalam dokumen NDCs, Indonesia berkomitmen mencapai target penurunan emisi sampai 2030 sebanyak 29% dengan upaya sendiri dan 41% dengan bantuan internasional.
Malpass menilai penanganan perubahan iklim merupakan proyek yang kompleks baik dari sisi pembiayaan maupun implementasinya. Maka itu, realisasinya perlu dibangun dengan perencanaan yang solid, kalibrasi dengan teknologi baru dan target yang lebih ambisius.
Ia menyebut terdapat beberapa sektor pembangunan yang memiliki peran penting dalam mendukung proyek perubahan iklim. Akses listrik menjadi prioritas tinggi, sektor pendidikan, perawatan kesehatan, pertanian, keuangan dan konektivitas sosial.
Penanganan perubahan iklim merupakan langkah yang besar, maka ia juga mengingatkan perlu adanya kemitraan bersama untuk mencapai tujuan tersebut. Kerja sama bukan hanya sesama pemerintah antar negara, melainkan dengan sektor swasta.
"Investasi sektor swasta akan menjadi vital dalam mendukung ketersediaan pasokan energi dan kapasitas listrik dengan cara yang lebih ramah lingkungan, karena kita perlu istirahat dari praktik penggunaan energi yang lama," kata Malpass.
Perubahan iklim menjadi salah satu proyek prioritas yang didanai Bank Dunia saat ini, di samping pada penanganan pandemi Covid-19. Hal ini karena dampak masalah tersebut tak kalah mengerikan dibanding corona.
Berdasarkan riset terbaru yang dibuat Bank Dunia bertajuk 'Groundswell', lembaga keuangan tersebut memperkirakan perubahan iklim akan memaksa 216 juta penduduk bermigrasi internal hingga tahun 2050. Migrasi internal merupakan perpindahan penduduk dari satu daerah ke daerah lainnya dalam satu negara.
Dalam hasil riset tersebut, hampir 40% penduduk dunia yang akan melakukan migrasi merupakan masyarakat di wilayah Afrika Sub-Sahara yang diperkirakan mencapai 86 juta orang. Disusul Asia Timur dan Pasifik 49 juta, Asia Selatan 40 juta, Afrika Utara 19 juta, Amerika Latin 17 juta serta Eropa Timur dan Asia Tengah 5 juta.
“Laporan Groundswell adalah pengingat nyata dari korban manusia dari perubahan iklim, terutama di negara yang termiskin di dunia, padahal mereka yang berkontribusi paling sedikit terhadap penyebab perubahan iklim," kata Wakil Presiden Pembangunan Berkelanjutan Bank Dunia Juergen Voegele dalam keterangan resminya awal September lalu.
Migrasi internal di kawasan Asia Timur dan Pasifik, terutama terjadi di wilayah pesisir selatan Vietnam di kota Ho Chi Minh City yang merupakan pusat ekonomi negara tersebut. Beberapa daerah lain seperti ibu kota Kamboja Phnom Penh dan kota-kota di sekitar delta sungai Mekong kemungkinan juga akan ditinggalkan penduduknya bermigrasi ke arah utara.
Bank Dunia mencatat kawasan selatan Vietnam juga Kamboja menjadi daerah yang paling rentan tenggelam ketika volume air laut meningkat akibat perubahan iklim. Selain itu, daerah lain seperti Myanmar bagian tengah dan Thailand juga menghadapi ancaman migrasi internal akibat penurunan ketersediaan air dan produktivitas tanaman yang menurun.