Pemerintah akan menyuntikkan dana sebesar Rp4,3 triliun kepada PT Kereta Api Indonesia (KAI) untuk proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB). Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, suntikan dana segar ini diberikan untuk memenuhi ekuitas dasar atau base equity KAI sebagai ketua konsorsium proyek bernilai US$ 8 miliar atau setara Rp 114 triliun tersebut.
"Proyek ini tadinya bersifat business to business (B2B) dan seharusnya kewajibannya dipenuhi BUMN, tetapi karena KAI terdampak Covid-19 dan mengalami penurunan penumpang maka kemampuan BUMN dalam menyediakan ekuitas awal tidak bisa terpenuhi," ujar Sri Mulyani dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Jakarta, Senin (8/10).
Dana tersebut akan berasal dari saldo anggaran lebih (SAL) tahun 2021 yang senilai Rp20,1 triliun. Namun, menurut Sri Mulyani, dana tersebut belum disuntikkan kepada KAI karena masih ada negosiasi Kementerian BUMN bersama konsorsium KCJB mengenai penyelesaian proyek itu.
Adapun negosiasi mencakup penyetoran modal awal KCJB oleh konsorsium dan kemungkinan dilusi saham kepemilikan pemerintah yang sebesar 60% dalam proyek tersebut. "Kalau memang nantinya kepemilikan pemerintah didilusikan, kami tidak perlu keluarkan Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar itu," kata Sri Mulyani.
Ia menjelaskan modal awal proyek KCJB sebesar 920 juta dolar AS seharusnya disetorkan oleh empat BUMN, yakni PT Perkebunan Nusantara (PTPN), Waskita, PT Jasa Marga, dan PT KAI pada 2015 saat dimulainya proyek. Namun, konsorsium saat itu tak bisa menyetorkan modal awal, sehingga proyek KCJB berjalan terlebih dahulu berdasarkan pinjaman dari Bank Pembangunan China (CDB).
"Namun, pinjaman ini sudah dicairkan dan sampai suatu titik tertentu ekuitasnya habis," ujarnya.
Maka dari itu, ia berharap Kementerian BUMN dan konsorsium bisa mencari titik tengah permasalahan tersebut. Adapun proyek KCJB saat ini masuk dalam proyek strategis nasional (PSN) melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 109 tahun 2020.
Presiden Joko Widodo melalui Peraturan Presiden Nomor 93 Tahun 2021 yang diterbitkan 6 Oktober 2021 mengizinkan penggunaan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai salah satu sumber pendanaan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Restu ini diberikan di tengah membengkaknya kebutuhan anggaran proyek kerja sama dengan Cina yang mencapai sekitar US$ 1,9 miliar atau Rp 27 triliun.
Dalam Perpres tersebut dijelaskan bahwa pembiayaan dari APBN dapat berupa penyertaan modal kepada pimpinan konsorsium BUMN dan/atau penjaminan kewajiban pimpinan konsorsium BUMN.
Konsorsium BUMN sebagaimana dimaksud terdiri dari PT Kereta Api Indonesia, PT Wijaya Karya Tbk, PT Jasa Marga Tbk, dan PTPN VIII. Melalui Perpres tersebut, Jokowi juga mengubah pimpinan konsorsium dari Wijaya Karya menjadi KAI.
Penyertaan modal kepada pimpinan konsorsium untuk memperbaiki struktur permodalan dan/atau meningkatkan kapasitas usaha pimpinan konsorsium. Ini dilakukan untuk pemenuhan kekurangan kewajiban penyetoran modal (base equity) perusahaan patungan dan/atau memenuhi kewajiban perusahaan patungan akibat kenaikan dan/atau perubahan biaya proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.
Adapun jika terjadi kenaikan biaya, pimpinan konsorsium BUMN dapat mengajukan permohonan dukungan pemerintah kepada Menteri Badan Usaha Milik Negara dengan menyertakan dampak terhadap kelayakan proyek.
Menteri BUMN kemudian akan meminta Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan untuk melakukan review secara menyeluruh terhadap perhitungan kenaikan dan dampaknya pada kelayakan proyek. Menteri BUMN kemudian akan menelaah hasil review BPKP dan menyampaikannya pada komite.