BI Akan Kurangi Likuiditas Perbankan Mulai Tahun Depan

NTARA FOTO/Muhammad Adimaja/wsj.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memberikan paparan saat mengikuti Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi XI DPR terkait Evaluasi Kinerja BI 2021 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (25/11/2021).
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Maesaroh
2/12/2021, 11.43 WIB

Bank Indonesia (BI) akan mengurangi secara bertahap likuiditas (tapering) di pasar keuangan mulai tahun depan. Rencana ini merupakan bagian dari normalisasi stimulus moneter BI.

"Kami akan memastikan likuiditas di perbankan akan lebih (longgar), meskipun secara bertahap kami akan menguranginya sedikit-sedikit dan berhati-hati," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam acara Bank Indonesia Bersama masyarakat (BIRAMA) 2021, Kamis (2/12).

Normalisasi kebijakan moneter BI akan dilakukan dengan penurunan secara bertahap kelebihan likuiditas yang sangat besar di perbankan.

Pengurangan likuiditas akan dilakukan secara terukur dan sangat hati-hati agar tidak mengganggu kemampuan perbankan untuk menyalurkan kredit dan melakukan pembelian surat berharga negara (SBN).

 Kondisi tersebut akan tetap mendukung terjaganya stabilitas moneter dan sistem keuangan serta berlangsungnya proses pemulihan ekonomi nasional.

Penyerapan likuiditas secara bertahap melalui kontraksi Operasi Moneter dan kenaikan Giro Wajib Minimum (GWM) dengan mempertimbangkan kredit perbankan dan penerbitan SBN Pemerintah.

Sebagai informasi, BI telah menambah menambah likuiditas  di perbankan sebesar Rp 137,24 triliun hingga 16 November 2021.

Dengan demikian, sejak tahun 2020 kebijakan quantitative easing telah mencapai Rp 863,8 triliun atau sekitar 5,3% dari PDB.

Besarnya suntikan BI membuat kondisi likuiditas di perbankan sangat longgar sampai Oktober.

Ini tercermin dari rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga (AL/DPK) yang tinggi, yakni 34,05% dan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang tumbuh sebesar 9,44% secara tahunan.

 Selain itu, BI juga telah menginjeksi perekonomian dengan memborong Surat Berharga Negara (SBN) di pasar perdana untuk membiayai APBN senilai Rp 143,32 triliun.

Pembelian tersebut merupakan hasil implementasi dari SKB I dan II yang disepakati BI dengan Kementerian keuangan tahun lalu.

Pembelian tersebut terdiri dari Rp 67,87 triliun melalui mekanisme lelang utama dan Rp 75,46 triliun melalui mekanisme Greenshoe Option (GSO).

Dengan demikian, likuiditas perekonomian juga meningkat di Oktober. Ini tercermin dari uang beradar dalam arti sempit (M1) dan luas (M2) yang tumbuh masing-masing 14,6% secara tahunan dan 10,4%.

Pertumbuhan uang beredar tersebut terutama didukung peningkatan ekspansi fiskal dan kredit perbankan.

Perry menegaskan bahwa arah kebijakan moneter bank sentral tahun depan adalah untuk menjaga stabilitas. Hal ini karena tahun depan diperkirakan sejumlah ketidakpastian global masih akan membayangi.

 Selain mengurangi likuiditas, BI menyiapkan beberapa kebijakan moneter lainnya dalam rangka menjaga stabilitas tahun depan. Kebijakan suku bunga rendah akan dipertahankan dan upaya menjaga stabilitas nilai tukar.

"Suku bunga 3,5% akan tetap dipertahankan sampai ada tanda-tanda akan terjaid kenaikan inflasi," kata Perry.

Bank sentral juga akan fokus untuk menjaga stabilitas nilai tukar tahun depan.

Seperti diketahui, tekanan terhadap nilai tukar kemungkinan akan makin kuat tahun depan di tengah berlanjutnya rencana tapering off the Fed.

Bank sentral Amerika itu kemungkinan akan menaikkan suku bunga acuannya pada paruh kedua tahun depan setelah pembelian aset rencananya berakhir pada paruh pertaa 2022.

Adanya sentimen tapering off ini dapat memicu dana asing kabur yang ikut mendoorng pelemahan nilai tukar.

 BI mempersiapkan lima kebijakan untuk tahun depan sebagai antisipasi rencana the Fed.  

Di luar upayanya untuk menjaga stabilitas, empat kebijakan lainnya akan diarahkan mendukung pertumbuhan ekonomi. Pertama, kebijakan makroprudensial yang longgar.

"Kebijakan makroprudensial longgar akan terus kami dorong bersama KSSK, dengan mendorong kredit dan pembiayan ke sektor riil, termausk kebijakan makroprudensial inklusif dan sektor-sektor prioritas," kata perry.

Kedua, Kebijakan sistem pembayaran yang terus diperluas untuk akselerasi ekonomi dan keuangan deigital.

 Beberapa langkah yang akan dilakukan dengan penguatan konsolidasi industri, pengembangan infrastruktur sistem pembayaran modern seperti QRIS, SNAP dan BI-Fast. QRIS juga akan diperluas dengan target 15 juta pengguna.

Ketiga, kebijakan pengembangan pasar uang lewat pendalaman pasar uang dan pasar valas sesuai Blueprint Pendalaman Pasar Uang (BPPU) 2025.

Keempat, kebijakan UMKM dan ekonomi keuangan syariah dengan memperluas sejumlah program untuk dua sektor tersebut.

Ini termasuk melalui dukungan digitalisasi dan perluasan akses pasar domestik dan ekspor.


Reporter: Abdul Azis Said