BPK Peringatkan Kerentanan Utang Indonesia Terus Meningkat

BPK KATADATA | Arief Kamaludin
BPK memperingatkan bahwa kerentanan utang pemerintah tahun 2020 juga sudah melampaui batas yang direkomendasikan oleh Dana Moneter Internasional (IMF) dan International Debt Relief (IDR).
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
9/12/2021, 13.16 WIB

Badan Pemerika Keuangan (BPK) kembali memperingatkan utang pemerintah yang terus menanjak dan melampaui batas yang direkomendasikan lembaga internasional. Tren kenaikan utang juga diikuti peningkatan risiko bunga utang.

Peringatan dari lembaga audit negara ini sebagaimana tertuang dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I tahun 2021. Nilai utang yang direview dalam laporan tersebut, yakni posisi utang pemerintah pada 2020 mencapai Rp 6.074,56 triliun.

"Hasil review atas kesinambungan fiskal pemerintah pada 2020 menunjukkan bahwa tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunga (tahun 2011-2020) melampaui pertumbuhan Produk Domestik Bruto dan penerimaan pajak negara," demikian tertulis dalam laporan tersebut, dikutip Kamis (9/12).

Oleh karena itu, BPK memperingatkan agar pemerintah perlu hati-hati dalam mengelola fiskalnya. Pemerintah perlu memperhatikan risiko yang timbul dari kewajiban pemerintah seperti kewajiban pensiun, kewajiban penjaminan sosial dan kontingensi dari BUMN. Selain itu pemerintah diperingatkan akan risiko dari beberapa program yang dilakuakn dengan skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).

Selain itu, BPK juga memperingatkan bahwa kerentanan utang pemerintah tahun 2020 juga sudah melampaui batas yang direkomendasikan oleh Dana Moneter Internasional (IMF) dan International Debt Relief (IDR).

"Rasio debt service terhadap penerimaan pemerintah sebesar 46,77%, melampaui rekomendasi IMF 25%-35%," tulis laporan tersebut.

Selain itu, rasio utang terhadap penerimaan sebesar 369% juga sudah melampaui rekomendasi IMF sebesar 90%-150% dan rekomendasi IDR 92%-167%. Rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan sebesar 19,06% juga melampaui rekomendasi IMF sebesar 7%-10% dan batas IDR sebesra 4,6%-6,8%.

"Indikator kesinambungan fiskal 2020 sebesar 4,27% melampaui batas yang direkomendasikan The International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) 5411 – Debt Indicators yaitu di bawah 0%," bunyi laporan tersebut.

Kesinambungan fiskal merupakan kemampuan pemerintah dalam mempertahankan keuangan negara pada posisi yang kredibel, tetapi tetap dapat memberikan layanan kepada masyarakat dalam jangka panjang. Kesinambungan fiskal memperhatikan faktor kebijakan belanja dan pendapatan, serta memperhitungakan biaya pembayaran utang pemerintah.

BPK memberikan catatan bahwa pandemi telah meningkatkan defisit sehingga penarikan utang juga semakin tinggi. Ini kemudian berdampak pada peningkatan risiko pengelolaan fiskal. Di sisi lain, pandemi juga mendorong peningkatan pada nilai SiLPA tahun lalu yang mencapai Rp 245,59 triliun.

Peringatan BPK terkait kenaikan rasio utang pemerintah ini tampaknya masih relevan untuk saat ini mengingat posisi utang pemeirntah masih melanjutkan kenaikan. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan posisi utang pemerintah Rp 6.687,28 triliun per Oktober. Nilai ini sudah naik 10% dari posisi akhir tahun lalu.

Sekalipun terjadi lompatan dari sisi nilai, sebenarnya terjadi perubahan dari sisi postur utang pemerintah. Hal ini terutama peningkatan porsi utang domestik sementara utang asing berkurang.

Utang pemerintah terdiri atas Surat Berharga Negara (SBN) domestik, SBN valuta asing (valas), pinjaman dalam negeri dan pinjaman luar negeri. Pada Oktober 2021, porsi SBN domestik sebesar 68,9% dari total utang pemerintah, naik dari 66,3% pada akhir 2020.

Porsi SBN valas sebesar 18,9% dari utang Oktober, turun dari 19,7% pada akhir Desember 2020. Pinjaman dalam negeri berkontribusi 0,2%, tidak berubah dari posisi akhir tahun lalu. Penurunan juga pada porsi pinjaman luar negeri dari 13,8% menjadi 11,9%.

Penurunan signifikan utang pemerintah berbentuk pinjaman luar negeri dan penerbitan SBN valas menjadi salah satu strategi Kementerian Keuangan untuk mengurangi eksposur asing terhadap utang pemerintah. Keterlibatan kreditur domestik pun didorong. Ini terlihat dari utang berbentuk SBN domestik yang terpantau naik.

"Pengelolaan utang dalam komposisi utang SBN domestik akan dijaga oleh pemerintah, sehingga tidak lebih kecil daripada utang dalam bentuk valas," demikian isi laporan APBN KiTA edisi November.

Reporter: Abdul Azis Said