Menteri Keuangan Sri Mulyani menyoroti masih tingginya ketimpangan gender antara laki-laki dan perempuan di dunia, termasuk di Indonesia. Butuh waktu hampir hampir 100 tahun untuk mengatasi masalah ini.
"Global Gender Gap Report tahun 2020 dari World Economic Forum menunjukkan terjadinya ketimpangan secara gender ini hanya bisa ditutup dalam jangka waktu 99,5 tahun. Jadi butuh waktu hampir 100 tahun," kata Sri Mulyani dalam Webinar Capital Market Women Empowerment Forum, Rabu (22/12).
Namun berdasarkan laporan World Economic Forum edisi terbaru 2021, waktu yang dibutuhkan untuk mengatasi kesenjangan gender meningkat dari 99,5 tahun dalam laporan tahun lalu menjadi 135,6 tahun. Kesenjangan gender masih tinggi dan meningkat dibandingkan tahun lalu, terutama di bidang politik dan ekonomi
Di 156 negara yang tercakup dalam laporan tersebut, perempuan hanya mewakili 26,1% dari sekitar 35.500 kursi parlemen dan hanya 22,6% dari lebih dari 3.400 menteri di seluruh dunia. Survei ini pun memperkirakan butuh waktu 145,5 tahun untuk dapat menutup kesenjangan di bidang politik.
Kesenjangan antara perempuan dan laki-laki di bidang ekonomi juga terlihat meningkat selama pandemi. World Economic Forum memperkirakan butuh 267,6 tahun lagi untuk menutup kesenjangan di sektor ekonomi.
Sri Mulyani juga menyinggung masalah ketimpangan gender yang terlihat di pasar kerja. Menurutnya, tidak sedikit perempuan di dunia kerja memiliki gaji yang lebih kecil dibandingkan laki-laki sekalipun berada pada level atau jabatan yang sama.
"Kami juga melihat dalam hal ini tentu berbagai hambatan yang dihadapi perempuan dalam rangka mendapatkan kesetaraan ini bukan hanya dari sisi kesempatan, tetapi juga reward yang diterima," kata dia.
Tekanan pandemi, menurut Sri Mulyani, juga ikut memperburuk ketimpangan gender. Hal ini karena kebanyakan perempuan bekerja di sektor informal, yang mana sektor ini ikut terpukul berat selama pandemi. Di sisi lain, pekerjaan di sektor informal ini juga cenderung memiliki produktivitas yang rendah, dengan demikian pendapatannya juga cenderung lebih rendha.
"Dunia kesehatan, pendidikan dan sosial itu biasanya didominasi oleh perempuan, tiga sektor ini yang terhantam langsung oleh pandemi. Ini mengapa pengaruh covid-19 jauh lebih besar kepada perempuan," kata Sri Mulyani.
Sri Mulyani mengatakan, ketimpangan gender yang masih cukup tinggi juga terjadi di Indonesia. Sekalipun kabinet pemerintah memiliki enam menteri perempuan serta perempuan di kursi tertinggi DPR, ini tidak merepresentasikan kondisi sesungguhnya. Hal ini karena persentase perempuan yang ikut dalam angkatan kerja masih sangat rendah yakni di bawah 60%, dibandingkan laki-laki yang mencapai di atas 80%.
Sri Mulyani mengingatkan masih ada pekerjaan rumah yang belum selesai untuk bisa menurunkan kesenjangan antara perempuan dan laki-laki. Hal ini agar perempuan bukan hanya berkontribusi untuk dirinya sendiri tetapi juga terhadap negara.
Untuk mendorong kesetaraan gender di dalam negeri, menurut Sri Mulyani, pemerintah telah memasukkan gender responsive budgeting sejak awal 2000. Program menjadi alat untuk memonitor sejauh mana anggaran negara dipakai untuk mendukung kesetaraan gender.
"Karena sering kalau kita tidak menggunakan dimensi gender, belanja negara itu menjadi tidak simetri manfaatnya bagi perempuan dan laki-laki, bahkan bisa diskriminatif, karena itu kita melakukan monitor," kata Sri Mulyani.
Selain itu, pemerintah juga telah menyediakan anggaran Dana Alokasi Khusus (DAK) non-fisik mulai 2021 yang dipakai untuk dana perlindungan perempuan dan anak. Ini untuk mendukung kerja Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan perlindungan Anak di daerah-daerah.