Pinjaman ke Asing Meningkat, Utang Pemerintah Naik Jadi Rp 6.713 T

ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/YU
ilustrasi uang rupiah di salah satu gerai penukaran mata uang di Jakarta, Jumat (5/11/2021).
23/12/2021, 09.21 WIB

Kementerian Keuangan melaporkan posisi utang pemerintah meningkat pada akhir November sebesar Rp 6.713,2 triliun. Angka tersebut bertambah Rp 25,9 triliun atau kenaikan 0,4% dari bulan sebelumnya.

Kenaikan tersebut terutama karena peningkatan pada nominal surat utang valas dan pinjaman luar negeri. Dengan kenaikan tersebut, rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada akhir November juga naik dari 39,9% menjadi 39,8%

Sementara secara tahunan, utang November bertambah Rp 802,6 triliun atau kenaikan 13,6%.  Kenaikan rasio utang terhadap PDB secara tahunan sebesar 1,71 poin persentase. "Rasio utang sampai akhir tahun 2021 diperkirakan tetap terjaga seiring penurunan outlook defisit karena perbaikan penerimaan negara dan optimalisasi Saldo Anggaran Lebih," tulis dalam dokumen APBN KiTA edisi Desember 2021 dikutip Kamis (23/12).

Kenaikan utang secara bulanan terjadi pada semua komponen utang, terutama yang berasal dari Surat Berharga Negara (SBN) valuta asing (valas) dan pinjaman luar negeri. Adapun utang pemerintah terdiri atas dua komponan, yakni utang berbentuk SBN dan utang dalam bentuk pinjaman.

Komposisi utang pemerintah sampai akhir bulan lalu masih didominasi oleh SBN sebesar Rp 5.889,73 triliun atau 87,73% terhadap total utang pemerintah. Adapun utang berbentuk SBN ini juga terbagi atas dua kategori yakni domestik dan valas.

Nilai utang pemerintah yang berasal dari SBN domestik sebesar Rp 4.614,96 triliun, meningkat Rp 3,3 triliun dari bulan sebelumnya. Utang dari SBN valas sebesar Rp 1.274,77 triliun atau bertambah Rp 7,74 triliun dari posisi akhir Oktober.

Utang pemerintah juga berasal dari pinjaman sebesar Rp 823,51 triliun atau 12,27% dari total utang pemerintah November. Komponen ini terbagi atas dua yakni pinjaman dalam negeri dan luar negeri.

Posisi pinjaman dalam negeri sebesar Rp 12,4 triliun, naik sebesar Rp 70 miliar. Sedangkan pinjaman luar negeri sebesar Rp 811,03 triliun atau bertambah Rp 14,8 triliun dalam sebeulan.

Adapun pinjaman dari luar negeri ini bersumber dari tiga kreditur, yakni pinjaman bilateral Rp 302,5 triliun, pinjaman multilateral Rp 467,1 triliun dan pinjaman bank komersial Rp 41,2 triliun.

Utang pemerintah pada November naik setelah bulan sebelumnya justru sempat menyusut. Meski begitu, Kementerian Keuangan menilai posisi utang pemerintah sampai akhir tahun ini masih akan terjaga.

Meski demikian, Rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia berada di peringkat keempat terendah di antara negara-negara G20 lainnya. Mengutip Trading Economics, rasionya mencapai 38,5% pada 2020.

Pada bulan lalu, lembaga pemeringkataan Fitch Rating kembali mempertahankan peringkat kredit Indonesia pada posisi BBB dengan outlook stabil. Indonesia masih bisa mempertahankan peringkat ini di tengah maraknya aksi penurunan rating negara oleh tiga lembaga pemeringkatan ternama seperti S&P, Moody's dan Fitch.

"Fitch juga menilai bahwa sinergi Kementerian Keuangan dengan Bank Indonesia melalui Surat Ketetapan Bersama (SKB) III berdampak positif yang mana kerja sama ini direspon oleh pasar secara netral dan positif, yang diindikasikan oleh imbal hasil obligasi dan nilai tukar yang stabil," tulis dokumen tersebut.

Selain itu, Kementerian Keuangan mengatakan pengelolaan utang pemerintah dilakukan dengan cermat dan hati-hati. Selain itu, prinsip oportunis juga ditunjukkan dengan memanfaatkan momentum untuk mendapat biaya dan risiko utang yang paling efisien, termasuk dengan adanya SKB I dan SKB III dengan bank sentral.

"Fleksibilitas diwujudkan melalui optimalisasi sumber pembiayaan non-utang terutama penggunaan SAL serta pemanfaatan pinjaman program dari lembaga multilateral dan bilateral berbasis penanganan Covid-19 dengan biaya relatif ringan," tulis dokumen tersebut.

Namun, masih ada catatan terkait risiko ketidakpasitan yang masih membayangi dan perlu diantisipasi. Risiko tersebut antara lain peningkatan volatilitas pasar keuangan, perlambatan pertumbuhan global serta inflasi impor. Selain itu, isu geopolitik dan perubahan iklim juga memberi risiko terhadap perekonomian Indonesia.

Reporter: Abdul Azis Said