Syarat & Cara Ikut Program Pengungkapan Sukarela Pajak Mulai 1 Januari

Arief Kamaludin|KATADATA
Ilustrasi. Wajib pajak yang ingin mengikuti program pengungkapan sukarela tidak boleh sedang diperiksa atau dilakukan pemeriksaan bukti permulaan untuk tahun pajak 2016-2020.
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
27/12/2021, 13.51 WIB

Kementerian Keuangan menerbitkan aturan turunan untuk pelaksanaan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) yang akan dimulai awal tahun depan. Dalam beleid baru tersebut pemerintah mengatur ketentuan kepesertaan dan basis harta yang dilaporkan, serta tata cara bagi wajib pajak untuk mengikuti program hampir serupa tax amnesty ini.

Program PPS akan mulai dilaksanakan pada 1 Januari hingga 30 Juni 2022.  Harta yang bisa diungkapkan melalui program ini, yaitu harta yang belum dilaporkan dalam penyelenggaraan Tax Amensty sebelumnya serta harta yang dikumpulkan sejak 2016-2020.

"PPS adalah kesempatan yang diberikan kepada wajib pajak untuk mengungkapkan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi secara sukarela melalui pembayaran pajak penghasilan (PPh) berdasarkan pengungkapan harta," kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Neilmaldrin Noor dalam keterangan resminya, Senin (27/12)

Program PPS menjadi salah satu poin yang diatur dalam beleid baru Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Sementara aturan pelaksanaanya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 196/PMK.03/2021.

Program ini terbagi ke dalam dua skema. Pertama, untuk harta yang yang dikumpulkan sebelum 31 Desember 2015 dan belum diungkapkan dalam program Tax Amnesty sebelumnya. Kedua, untuk harta yang diperoleh selama 2016-2020 yang belum dilaporkan dalam SPT tahun 2020.

Untuk kepesertaannya, pada skema pertama bisa diikuti oleh Wajib Pajak (WP) orang pribadi dan badan, sementara untuk skema kedua khusus untuk WP orang pribadi. Adapun ketentuan pentarifan ditetapkan PPh final, namun berbeda untuk masing-masing skema. Pada skema pertama, tarif yang berlaku sebagai berikut,

  • 11% untuk harta deklarasi luar negeri
  • 8% untuk harta luar negeri yang direpatriasi dan harta deklarasi dalam negeri yang tidak diinvestasikan ke instrumen yang ditentukan pemerintah
  • 6% untuk harta luar negeri yang direpatriasi dan harta dalam negeri yang dideklarasikan, kemudian diinvestasikan di surat berharga negara (SBN), hilirisasi SDA dan energi terbarukan

Sementara ketentuan tarif untuk skema kedua sebagai berikut,

  • 18% untuk harta deklarasi luar negeri
  • 14% untuk harta luar negeri yang direpatriasi dan harta dalam negeri yang dideklarasikan tetapi tidak diinvestasikan ke instrumen yang ditentukan pemerintah
  • 12% untuk harta luar negeri yang direpatriasi dan harta dalam negeri yang dideklarasikan, kemudian diinvestasikan di SBN, hilirisasi SDA dan energi terbarukan

Dalam beleid tersebut, pemerintah juga memberikan catatan khusus untuk skema kedua, yakni hanya bisa diikuti wajib pajak orang pribadi jika memenuhi syarat. Syaratnya, yakni, serta tidak sedang dalam penyidikan, dalam proses peradilan, atau sedang menjalani pidana di bidang perpajakan.

Jika seluruh ketentuan di atas terpenuhi, maka wajib pajak dapat mendaftarkan diri untuk ikut program PPS dengan tata cara pengungkapan sebagai berikut

  1. Pengungkapan dilakukan dengan Surat Pemberitahuan Pengungkapan Harta (SPPH) yang disampaikan secara elektronik melalui lama https://pajak.go.id/pps . SPPH harus dilengkapi dokumen, sebagai berikut:
    • SPPH induk
    • Bukti pembayaran PPh final
    • Daftar rincian harta bersih
    • Daftar utang
    • Pernyataan repatriasi dan atau investasi

    Terdapat tambahan kelengkapan untuk peserta yang mengikuti PPS skema kedua, sebagai berikut:

    • Pernyataan mencabut permohonan (restitusi atau upaya hukum)
    • Surat permohonan pencabutan banding, gugatan dan peninjauan kembali
  2. Peserta PPS dapat menyampaikan SPPH kedua, ketiga, dan seterusnya untuk membetulkan SPPH jika ada perubahan harta bersih atau kesalahan tulis, hitung atau perubahan tarif.
  3. Peserta PPS dapat mencabut keikutsertaan dalam PPS dengan mengisi SPPH selanjutnya dengan nilai 0. Peserta PPS yang mencabut SPPH dianggap tidak ikut PPS dan tidak dapat lagi menyampaikan SPPH berikutnya.
  4. Pembayaran dilakukan dengan menggunakan Kode Akun Pajak (KAP) PPh Final 411128 dan Kode Jenis Setoran (KJS) untuk skema pertama yakni 427 dan untuk skema kedua yakni 428. Pembayaran tidak dapat dilakukan dengan pemindahbukuan (Pbk)
  5. PPh Final yang harus dibayarkan sebesar tarif dikali nilai harta bersih (harta dikurang utang).
  6. Untuk skema pertama, pedoman penghitungan besaran nilai harta per 31 Desember 2015 sebagai berikut.
    • Nilai nominal, untuk harta kas atau setara kas
    • Nilai jual objek pajak (NJOP) untuk tanah atau bangunan dan nilai jual kendaraan bermotor (NJKB) untuk kendaraan bermotor
    • Nilai yang dipublikasikan oleh PT Aneka Tambang Tbk untuk emas dan perak
    • Nilai yang dipublikasikan oleh PT Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk saham dan waran yang diperjualbelikan di PT BEI
    • Nilai yang dipublikasikan oleh PT Penilai Harga Efek Indonesia untuk SBN dan efek bersifat utang atau sukuk yang diterbitkan perusahaan
    • Jika tidak ada pedoman, menggunakan hasil penilaian Kantor Jasa Penilaian Publik (KJPP)
  7. Untuk skema kedua, pedoman perhitungan besaran nilai harta per 31 Desember 2020 sebagai berikut:
    • Nilai nominal, untuk kas atau setara kas
    • Harga perolehan, untuk selain kas atau setara kas
    • Jika tidak diketahui, menggunakan nilai wajar per 31 Desember 2020 dari harta sejenis atau setara berdasarkan penilaian wajib pajak.

Reporter: Abdul Azis Said