Kinerja Rupiah Terbaik Kedua di Asia Meski Melemah 213 Poin Tahun Ini

Adi Maulana Ibrahim |Katadata
Ilustrasi. Kurs rupiah pada perdagangan tahun ini ditutup di level Rp 14.263 per dolar AS.
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
31/12/2021, 18.36 WIB

Nilai tukar rupiah menutup tahun ini di level  Rp 14.263 per dolar AS. Rupiah melemah 213 poin dari posisi awal tahun atau 1,5%.  Meski melemah, posisi rupiah sepanjang tahun ini masih lebih baik dibandingkan negara-negara Asia maupun emerging market lainnya. 

Bloomberg pada Oktober lalu memperkirakan rupiah akan memiliki kinerja terbaik di Asia pada pengujung tahun ini. Prospek ini seiring dengan tren kasus Covid-19 yang terkendali dan surplus neraca perdagangan.

Sebagai negara pengekspor batu bara, Bloomberg menilai Indonesia diuntungkan dari krisis energi yang mengguncang banyak negara importar komoditas.

Prediksi serupa juga disampaikan Bank Indonesia. Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo menyebut, rupiah menjadi salah satu mata uang dengan kinerja terbaik di Asia, khususnya di antara negara-negara emerging Asia. "Jauh di bawah kita ada Thailand, Malaysia, hingga Singapura yang depresiasi nilai tukarnya hingga belasan persen," ujar Dody, seperti dikutip dari Senin (6/12). 

Benarkah prediksi-prediksi tersebut?

Berdasarkan data Bloomberg, hampir seluruh mata uang Asia dan negara emerging market lainnya melemah terhadap dolar AS sepanjang tahun ini. Ringgit Malaysia sepanjang tahun ini melemah 3,6%, peso Filipina 6,17%, baht Thailand 10,68%,  Korea Won 9,51%, dolar Singapura 2,23%, real Brasil 7,25%, rand Afrika Selatan 8,19%. Lira Turki bahkan jatuh hingga 77%. Hanya yuan Cina  yang berhasil menguat 2,68% terhadap dolar AS. 

Rupiah pun berhasil menguat terhadap berbagai mata uang regional,  kecuali dengan Cina, seperti terlihat dalam databoks di bawah ini.

Adapun pelemahan rupiah sepanjang tahun ini juga dipengaruhi oleh aksi investor asing yang ramai-ramai kabur dari pasar Surat Berharga Negara (SBN) pada sepanjang tahun ini, sekalipun pembelian di pasar saham masih cukup tinggi.

Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi Erwin Haryono mencatat, aksi jual investor asing secara neto di pasar SBN sepanjang tahun ini hingga 30 Desember mencapai Rp 80,92 triliun. Namun demikian, terdapat beli neto di pasar saham Rp 38,09 triliun.

"Berdasarkan data transaksi 27-30 Desember 2021, nonresiden di pasar keuangan domestik mencatatkan jual neto Rp 2,01 trilun, terdiri dari jual neto di pasar SBN sebesar Rp 2,51 triliun dan beli neto Rp 500 miliar di pasar saham," tulis Erwin dalam keterangan resminya, Jumat (31/12).

BI turut mencatat tingkat premi risiko investasi atau credit default swap (CDS) Indonesia tenor lima tahun per 30 Desember turun ke level 73,24 basis poin (bps) dari 74,40 bps pada 24 Desember. Sementara itu, imbal hasil atau yield SBN tenor 10 tahun turun ke level 6,33% pada hari ini. Sementara yield US Treasury tenor 10 tahun naik ke level 1,51% pada perdagangan Kamis (30/12).

Rupiah masih bergerak volatile sepanjang tahun ini sehingga melemah 1,5% sekalipun masih di bawah target pemerintah dalam APBN 2021 di level Rp 14.600 per dolar AS. Rupiah mengawali awal tahun dengan penguatan, bahkan sempat menyentuh Rp 13.895 per dolar AS pada perdagangan 6 Januari. Namun sinyal pelemahan mulai terlihat di pertengahan Februari hingga puncaknya rupiah melemah ke Rp 14.615 pada pertengahan April.

Analis pasar uang Bank Mandiri Rully Arya Wisnubroto mengatakan, koreksi di kuartal kedua tahun in lebih disebabkan sentimen eksternal, terutama kenaikan harga-harga di Amerika Serikat.Inflasi yang tinggi di AS mendorong kekhawatiran Bank Sentral AS akan segera memperketat kebijakan. 

"Pada kuartal kedua itu tiba-tiba ada kekhawatiran inflasi di Amerika, kemudian diikuti kenaikan US Treasury yang signifikan,.Hal ini memicu terjadi capital outflow karena spekulasi The Fed akan melakukan normalisasi lebih cepat," kata Rully kepada Katadata.co.id, Jumat (31/12).

Inflasi harga konsumen Amerika berada di level 4,2% secara tahunan pada April 2021, rekor tetringgi dalam 12 tahun. Inflasi komponen inti yang sering menjadi acuan untuk melihat kenaikan harga akibat meningkatnya permintaan juga mencatat kenaikan 3% secara tahunan. Baik inflasi secara umum maupun inflasi inti sendiri sudah di atas target bank sentral di 2%.

Sentimen pelemahan mulai mereda menuju pertengahan tahun sehingga rupiah sempat berbalik ke level Rp 14.189 pada pekan kedua Juni. Namun, kemunculan varian Covid-19 Delta mendorong kekhawatiran pasar meningkat seiring lonjakan kasus di dalam negeri. Rupiah kemudian melemah ke Rp 14.543 per dolar AS di pertengahan Juli, rekor terendah dalam tiga bulan.

Rupiah kemudian mampi berbalik menguat berkat kenaikan harga-harga komoditas global yang mulai terlihat di paruh kedua tahun ini. Kondisi ini membawa RI memasuki periode surplus jumbo neraca perdagangan beberapa bulan beruntun, efeknya kemudian membantu penguatan pada rupiah.

Neraca perdagangan sempat menyentuh rekor surplus tertinggi pada Oktober 2021 sebesar US$ 5,74 miliar. Ini bahkan terjadi empat bulan beruntun sejak Juli. Surplus neraca dagang saat itu konsisten di atas US$ 4 miliar sehingga surplus perdagangan sepanjang secara akumulasi dalam 11 bulan 2021 sudah mencapai US$ 34,32 miliar.

Hanya saja, penguatan rupiah tidak bertahan lama, terutama memasuki bulan-bulan akhir 2021 sejumlah sentimen koreksi terhadap rupiah kembali menguat. "Selain karena kemunculan Omicron, beberapa bulan terakhir juga The Fed mengubah stancenya terkait inflasi dari semula mengatakan hanya bersifat sementara, kini mereka melihat inflasi akan bertahan lebih lama. Namun volatilitas ini tidak setinggi April kemarin, " kata Rully.

Kekhawatiran inflasi tersebut yang kemudian mendorong bank sentral terebesar dunia itu kemudian memulai tapering off berupa pengurangan quantitative easing mulai akhir November. The Fed kemudian akan mempercepat tapering off mulai bulan depan serta menaikkan suku bunga acuannya tahun depan, dari semula direncanakan baru akan dilakukan pada 2023.

Dengan berbagai dinamika rupiah sepanjang tahun ini, Rully memperkirakan rupiah masih akan terdepresiasi tahun depan. Sentimen koreski terutama dipengaruhi masih tingginya volatilitas eksternal yang dipengaruhi rencana pengetatan moneter sejumlah bank sentral utama dunia. Selain AS, Inggris juga sudah memulai kenaikan suku bunga bulan ini, diperkirkaan bank sentral Eropa juga akan menyusul tahun depan.

"Dari sisi domestik kita lihat, meski ada risiko lonjakan kasus Covid-19 di awal tahun, tetapi kita memperkirakan dari sisi pandeminya masih cukup terkendali dibandingkan lonjakan saat Delta yang lalu, sehingga pelemahan tidak terlalu dalam." kata Rully.

Dia memperkirakan koreksi terutama akan terasa di paruh kedua tahun depan. Rupiah diperkirakan bergerak di rentang Rp 14.200-Rp 14.400 per dolar AS pada paruh pertama tahun 2022, sebelum kemudian terdeprisais di rentang Rp 14.300-Rp 14.500 per dolar AS di paruh kedua.

Reporter: Abdul Azis Said