Pekan lalu, Satuan Tugas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia alias Satgas BLBI mendapat hadiah akhir tahun berupa gugatan dari tauke Grup Texmaco, Marimutu Sinivasan. Dia melayangkan tuntutan setelah pemerintah menyita ratusan hektare aset Texmaco untuk menutupi utang perusahaan kepada BLBI.
Grup Texmaco merupakan salah satu debitur prioritas Satgas BLBI yang memiliki utang Rp 31,7 triliun dan US$ 3,9 miliar atau setara Rp 55 triliun (kurs Rp 14.200) kepada negara.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan utang-utang tersebut berstatus macet pada saat krisis. Bahkan, bank yang menjadi tempat meminjam uang Texmaco waktu itu sudah di ambang kebangkrutan. Pemerintah terpaksa menalangi pendanaan bank (bailout). Maka dari itu, utang Texmaco atas bank tersebut dialihkan ke pemerintah.
Pada akhir tahun lalu, Satgas BLBI telah menyita 587 bidang tanah seluas 479,4 hektare milik Grup Texmaco yang terletak di lima daerah, yaitu:
- 519 bidang tanah dengan luas 333,3 hektare terletak di tiga kecamatan, yakni Kabupaten Subang, Jawa Barat.
- 54 bidang tanah seluas 124,8 hektare di Kelurahan Loji, Kecamatan Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
- Tiga bidang tanah seluas 0,2 hektare di Kecamatan Pekalongan Barat dan Timur, Kota Pekalongan, Jawa Tengah.
- 10 bidang tanah seluas 8,3 hektare di Kecamatan Batu, Kota Batu, Jawa Timur.
- Sebidang tanah seluas 12,5 hektare di Kelurahan Lubuk Kilangan, Kota Padang, Sumatera Barat.
Kelahiran Texmaco dari Tangan Marimutu
Omar Puirai Marimutu Sinivasan merupakan pria kelahiran Medan, 17 Desember 1937. Bos Grup Texmaco ini menempuh pendidikan dari sekolah dasar hingga universitas di kota kelahirannya. Namun, dia tidak menamatkan kuliah di Universitas Islam Sumatera Utara (UISU), sebab kadung bekerja di perusahaan perkebunan.
Tidak berlangsung lama, Marimutu merasa tidak cocok menjadi pegawai dan mulai berwirausaha. Bisnis pertama dimulai ketika dia berusia 21 tahun. Kala itu, Marimutu memilih usaha impor tekstil sebagai bisnis pertamanya, yang memang sudah akrab digeluti oleh orang-orang India. Dua tahun kemudian, Marimutu untuk merantau ke Pulau Jawa untuk meneruskan bisnisnya.
Dalam beberapa literatur disebutkan, Marimutu membangun sebuah pabrik pemintalan tradisional di Pekalongan, Jawa Tengah dengan nama Firma Djaya Perkasa pada 1961. Pabrik inilah yang menjadi muasal lahirnya Grup Texmaco.
Nama perusahaan sempat berganti pada 1970 menjadi Texmaco Jaya. Texmaco sendiri adalah singkatan dari textile manufacturing company.
Seiring meningkatnya permintaan pasar, Texmaco pun gencar mendirikan pabrik di berbagai daerah. Tujuannya untuk menambah kapasitas produksi. Pada 1962, Marimutu juga mendirikan pabrik pembuatan polekat pertama di Jakarta. Polekat merupakan bahan baku untuk membuat sarung.
Selanjutnya, Marimutu juga mendirikan perusahaan batik dan pabrik penyelupan di tahun 1967. Disusul upayanya melebarkan sayap perusahaan ke Batu, Jawa Timur, dengan membeli pabrik batik pada 1972. Selang lima tahun kemudian, dia membangun pabrik poliester di Semarang.
Akhir tahun 70-an, bisnis Texmaco semakin moncer berkat sentimen global. Kala itu, harga minyak sedang melambung tinggi dan memberi efek positif bagi ekonomi Indonesia. Pendapatan per kapita meningkat, daya beli masyarakat Indonesia meningkat, alhasil bisnis tekstil pun semakin laris.
Diversifikasi Bisnis Texmaco
Setelah puas dengan usaha tekstilnya, Grup Texmaco mulai memasuki dunia industri otomotif. Melalui pabriknya di Serang, Texmaco menciptakan sebuah kendaraan truk bernama Perkasa. Karena memiliki koneksi yang baik dengan pemerintahan, TNI memesan 800 unit truk Perkasa.
Pada 1998, Texmaco sudah memiliki kawasan pabrik seluas 1000 hektare di Subang, Jawa Barat. Kawasan pabrik ini juga dilengkapi dengan sekolah politeknik mesin yang diresmikan oleh menteri perindustrian pada masa itu, Hartarto Sastrosoenarto.
Sementara di timur kota Jakarta, tepatnya di Karawang, Texmaco juga memiliki kompleks pabrik tekstil dengan luas kurang lebih 250 hektare. Di pabrik ini, Texmaco menghasilkan merek Simfoni dan Texana yang dikenal luas hingga banyak dipesan oleh perusahaan global seperti Mark & Spencer dan Tommy Hilfiger.
Hamparan kekayaan Marimutu tersebut membuat namanya beberapa kali masuk ke dalam daftar orang terkaya di Indonesia. Di tingkat regional, Marimutu menempati urutan 149 orang terkaya versi GlobeAsia 2016.
Terjerat Skandal Lain
Tidak hanya terlibat BLBI, nama Marimutu Sinivasan bahkan sempat masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) dari 2006 hingga 2008. Itu terjadi karena Marimutu sempat gagal bayar utang untuk pinjaman PT Multi Karsa Utama ke Bank Duta senilai Rp 50 miliar.
PT Multi Karsa Utama merupakan perusahaan yang dipimpin Marimutu. Dalam catatan Kumparan, Bank Duta hanya bisa memberikan pinjaman Rp 30 miliar, sementara sisanya Rp 20 miliar lagi ditanggung oleh Bank Muamalat.
Selain itu, Marimutu masuk dalam sembilan dari 11 keluarga terkaya di Indonesia yang menempatkan aset di kawasan tax haven. Sebanyak 2.500 nama orang Indonesia ditemukan pada dokumen penyedia jasa offshore Singapura bernama Portcullis TrustNet.
Dokumen ini bocor kepada International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ), ada lebih dari 190 perusahaan dan pengelola dana offshore di Kepulauan Cook, Pasifik Selatan tersebut. Sebut saja keluarga Lippo dan Sampoerna, nama mereka terdapat dalam daftar tersebut.
Kisah Marimutu Sinivasan dengan perusahaan offshore bermula pada 1997, ketika seorang pegawai TrustNet bernama Stephen Breed datang ke Jakarta untuk menemunya. Kala itu, Indonesia sedang memasuki krisis dan Marimutu memperoleh pinjaman US$ 2,2 miliar dari bank dan lembaga pemerintah untuk Texmaco.
Tujuh tahun berselang, pada 4 April 1997, TrustNet mendirikan perusahaan offshore di Kepulauan Cook, Samudera Pasifik dengan nama Pipeline Trust Company Limited. Tepat pada 13 Agustus 1997, TrustNet mengalihkan saham-saham perusahaan tersebut atas nama Marimutu.
Pada 11 Desember 1997, TrustNet mengirim Marimutu dokumen surat kuasa yang memungkinkan taipan ini membuka rekening bank dan mentransfer dana dari dan ke dalam rekening atas nama TrustNet.