Dilema Blackout dan Larangan Ekspor Batu Bara yang Mengancam Ekonomi

ANTARA FOTO/Makna Zaezar/nym.
Ilustrasi. Pemerintah menyebut, larangan ekspor yang berjalan saat ini merupakan kebijakan sementara untuk memastikan ketersediaan pasokan batu bara domestik.
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
6/1/2022, 08.21 WIB

Pemerintah melarang ekspor batu bara mulai 1-31 Januari 2022 guna menghindari risiko blackout alias pemadaman massal akibat ketersediaan batu bara yang menipis. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut kebijakan larangan ekspor batu bara adalah pilihan sulit untuk mencegah pemadaman massal atau blackout yang dapat mengganggu pemulihan ekonomi nasional.

"Pilihan yang sulit apakah listrik di Indonesia mati tapi tetap kita ekspor. Kalau listriknya mati dan kita tetap ekspor batu bara, ya Indonesia sendiri yang akhirnya pemulihan ekonominya terancam," ujar Sri Mulyani dalam Konferensi APBN Kita, pekan ini. 

Sri Mulyani menyadari bahwa dua pilihan tersebut menimbulkan dilema bagi pemerintah. Setiap keputusan yang diambil, menurut dia, disertai pengorbanan. Namun, pemerintah memiliki kebijakan yang memiliki dampak seminimal mungkin bagi perekonomian dan masyarakat.

Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Abdurohman mengatakan larangan ekspor yang berjalan saat ini merupakan kebijakan sementara untuk memastikan ketersediaan pasokan batu bara domestik. Jika kebijakan tersebut tidak dilakukan, menurut dia, ada potensi pemadaman listrik massal yang mengakibatkan kerugian ekonomi sangat besar.

"Jika merujuk pada kejadian blackout pada 2019, pemadaman yang terjadi sekitar satu hari telah mengakibatkan akumulasi kerugian hingga triliunan rupiah. Oleh karena itu pemerintah menghindari kemungkinan terjadinya hal tersebut," kata Abdurohman kepada Katadata.co.id, Rabu (5/1).

Pemadaman listrik secara massal terjadi di Jakarta hingga sebagian Jawa pada 4 Agustus 2019. Pemadaman selama 5-36 jam di berbagai wilayah di Pulau Jawa ini terjadi  karena turun drastisnya aliran listrik di Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) Ungaran-Pemalang 500 KV. Ini kemudian meluas dan memengaruhi sirkuit Depok-Tasikmalaya sehingga terjadi gangguan listrik pada tiga SUTET secara bersamaan yang dikenal dengan istilah N minus 3.

Kejadian listrik mati secara massal ini berdampak pada 21 juta pelanggan. Kerugian yang diciptakan pun ditaksir menyentuh triliunan rupiah. Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia (Aprindo) sempat memperkirakan kerugian akibat kejadian mati listrik pada 2019 mencapai lebih dari Rp 200 miliar. Sementara kerugian industri kimia saat ini diperkirakan mencapai lebih dari Rp 300 miliar. 

Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal juga memperingatkan bahwa risiko blackout terhadap ekonomi lebih besar dibandingkan kerugian yang ditimbulkan jika ekspor batu bara disetop selama sebulan. Gangguan terutama di sisi konsumsi dan produksi yang menurut dia jadi tumpuan utama perekonomian Indonesia.

"Konsumsi rumah tangga tentu saja butuh listrik, begitu juga investasi dan produksi, jadi dampaknya ke ekonomi akan sangat besar sekalipun blackout-nya kemungkinan hanya di hari-hari tertentu saja," kata Faisal kepada Katadata.co.id,.

Ia mengatakan, dampak dari larangan ekspor batu bara tentu juga besar terhadap perekonomian, tetapi efeknya lebih ringan. Faisal memperkirakan dampaknya terutama akan terasa pada penurunan nilai ekspor Januari.

Meski demikian, ia memprediksi kebijakan ini tidak  akan menyebabkan neraca dagang berbalik defisit. Selain itu, dampaknya hanya sementara karena larangan hanya diberlakukan selama sebulan.

Berbeda dengan Faisal, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menyayangkan langkah pemerintah melarang ekspor batu bara yang dinilai terlalu terburu-buru. Ia memperkirakan kebijakan ini dapat mendorong berakhirnya tren surplus neraca dagang yang sudah berlangsung beberapa bulan terakhir.

Menurut Bima, batu bara menyumbang sekitar 15% dari total ekspor nonmigas Indonesia sepanjang Januari-November. Jika larangan ekspor diberlakukan secara penuh, menurut dia, ada potensi kehilangan nilai ekspor US$ 4,1 miliar dalam sebulan.

"Proyeksinya neraca dagang bulan Januari bisa defisit US$ 50-80 juta, sehingga surplus perdagangan yang sebelumnya tinggi akan berubah signifikan," kata Bhima kepada Katadata.co.id.

Selain itu, larang ekspor juga bisa menimbulkan gejolak di pasar internasional terutama berupa lonjakan harga komoditas. Ini karena Indonesia merupakan salah satu pemasok terbesar batu bara dunia. Keputusan ini juga bisa menimbulkan kekacauan di manufaktur Cina dan India.

"Apalagi ini cukup mendadak, dikhawatirkan kemarahan negara konsumen utama batu bara asal Indonesia bisa berujung retaliasi dagang atau aksi saling balas," kata Bhima.

Pelarangan ekspor batu bara, menurut Bhima, juga berpotensi menggangu penerimaan negara khususnya dari pajak penghasilan (PPh) pasal 22 ekspor. Padahal sepanjang tahun lalu pemerintah telah meraup untung dari kenaikan harga batu baru. Berkat kondisi ini juga pemerintah menurutnya bisa mencapai target penerimaan pajak 100%.

Adapun dampak larangan ekspor ke penerimaan negara ini sebelumnya sempat diklarifikasi pemerintah. Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan, dampak larangan ekspor hanya akan bersifat sementara mengikuti periode pelarangan yang hanya sebulan.

"Dampaknya kepada penerimaan dan ekspor itu juga akan sementara. Jadi kami cukup nyaman dengan risiko yang dihadapi ke depan," kata Febrio dalam konferensi pers APBN KITA, Senin (3/1).

Reporter: Abdul Azis Said