Baru Pekan Pertama 2022, Modal Asing Kabur Sudah Capai Rp 1,7 Triliun

ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/wsj.
Pekerja menunjukkan uang dolar AS dan rupiah di salah satu gerai penukaran mata uang di Jakarta, Rabu (5/1/2022).
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Maesaroh
7/1/2022, 19.37 WIB

Bank Indonesia (BI) melaporkan modal asing yang keliar dari pasar keuangan Indonesia mencapai Rp 1,68 triliun di minggu pertama 2022. Kaburnya dana asing bersamaan dengan pelemahan rupiah sebesar 88 basis poin (bps) sejak penutupan pekan lalu.

Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi Erwin Haryono merincikan, terdapat asing jual neto di pasar obligasi pemerintah senilai Rp 2,93 triliun. Namun masih ada beli neto di pasar saham Rp 1,25 triliun.

"Berdasarkan data transaksi 3-6 Januari 2022, nonresiden di pasar keuangan domestik jual neto Rp1,68 triliun," tulis Erwin dalam keterangan resminya, Jumat (7/1).

 BI turut mencatat tingkat premi risiko investasi atau credit default swap (CDS) Indonesia tenor lima tahun naik ke level 77,27 basis poin (bps) per 6 Januari 2022, lebih tinggi dari 73,55 bps pada 31 Desember 2021.

Sementara itu, imbal hasil atau yield SBN tenor 10 tahun naik ke level 6,42% pada hari ini.

Kenaikan tersebut menyusul yield US Treasury tenor 10 tahun yang juga naik ke level 1,72% pada perdagangan Kamis (23/12). Yield US Treasury memang telah menunjukkan kenaikan sejak awal pekan ini dan terjadi di semua tenor.

Aksi jual aset oleh asing tersebut ikut menyeret pelemahan pada rupiah. Mengutip Bloomberg, nilai tukar parkir di level Rp 14.351 per dolar AS di penutupan perdagangan minggu pertama 2022.

Rupiah melemah 88 bps atai 0,6% dari posisi penutupan akhir pekan lalu atau hari terakhir perdagangan 2021.

 Direktur PT TRFX Garuda Berjangka Ibrahim Assuaibi mengatakan, pergerakan rupiah sepekan terakhir terutama dipengaruhi wacana kenaikan bunga acuan The Fed.

Dalam risalah rapat pembuat kebijakan The Fed yang dirilis beberapa hari lalu menunjukkan kenaikan bunga acuan kemungkinan akan dilakukan lebih cepat.

"Menurut alat CME FedWatch, investor saat ini mengantisipasi peluang lebih besar dari 70% untuk kenaikan suku bunga setidaknya 25 basis poin pada pertemuan Fed Maret," kata Ibrahim kepada Katadata.co.id

Di samping rencana kenaikan bunga acuan, mulai bulan ini The Fed juga mempercepat tapering off.

Pengurangan pembelian asetnya ditingkatkan dari bulan lalu hanya US$ 15 miliar menjadi US$ 30 miliar. Dengan demikian The Fed akan mengakhiri dukungan quantitative easingnya di Maret-April mendatang.

 Bukan hanya dua agenda tersebut, pasar mulai mengantisipasi The Fed akan mengurangi kepemilikannya atas US Treasury dan sekuritas beragun hipotek.

Perkiraan itu mengarah pada kemungkinan pengurangan hampir US$ 9 triliun aset yang dipegang The Fed.

Selain sentimen pengetatan moneter The Fed, Ibrahim mengatakan kebijakan pemerintah melarang ekspor batu bara juga menimbulkan sentimen koreksi, namun hanya sementar.

Kendati demikian, efeknya mulai mereda setelah pemerintah mulai mengklarifikasi sumber persoalan dibalik kebijakan tersebut.

"Kemarin memang sempat negatif, tapi respon pasar itu sebenarya sudah positif yang dibuktikan oleh emiten-emiten saham positif semua setelah ada penjelasan dari Menteri BUMN, negatifnya hanya di awal-awal saja," kata Ibrahim.

Rupiah anjlok dalam terutama di awal pekan ini. Kurs garuda jatuh ke Rp 14.371 per dolar AS di penutupan hari Rabu (5/1), kemudian puncakya di Rp 14.391 pada perdagangan kemarin, dan berbalik menguat pada hari ini.

 Kementerian ESDM melarang ekspor atau penjualan batu bara ke luar negeri sementara selama satu bulan.

Kebijakan ini dikeluarkan dalam rangka menjaga pasokan batu bara untuk pembangkit domestik yang mulai menipis.

Menteri Keuangan Sri Mulyani sempat menyinggung salah satu penyebab kondisi tersebut karena ketentuan soal domestik market obligation (DMO) yang tidak berjalan maksimal.

Meski demikian, Ibrahim juga mengatakan sentimen positif datang dari optimisme pasar terhadap pengelolaan keuangan pemerintah.

"Pelaku pasar optimis bahwa pemerintah masih sanggup membayar utang plus bunganya. Sebagai tolak ukurnya adalah pertumbuhan ekonomi yang terus menggeliat," kata Ibrahim.

Adapun utang pemerintah sampai dengan November mencapai RP 6.713,24 triliun, naik Rp 25,96 triliun dalam sebulan.

Kendati demikian, Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam sebuah acara beberapa hari lalu juga memastikan bahwa posisi utang tersebut tentu bisa dibayar.

Selain itu, awal pekan ini pemerintah juga melaporkan defisit APBN tahun 2021 dalam laporan sementara menunjukkan penurunan. Defisit APBN sebesar Rp 783,7 triliun atau 77,9% dari target. Rasionya terhadap PDB yakni 4,65% atau lebih kecil dari target 5,7%.

Reporter: Abdul Azis Said