Meski Dibuka Menguat, Rupiah Diramal Bergerak Melemah ke Rp 14.380/US$

ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/wsj.
Pekerja menunjukkan uang dolar AS di salah satu gerai penukaran mata uang di Jakarta, Rabu (5/1/2022).
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Maesaroh
18/1/2022, 09.56 WIB

Nilai tukar rupiah dibuka menguat 0,12% ke level Rp 14.307 per dolar Amerika Serikat (AS) di pasar spot pagi ini.  Namun, Rupiah berpotensi berbalik melemah terimbas kenaikan yield  obligasi pemerintah AS sebagai respon pengetatan moneter The Fed.

Mengutip Bloomberg, rupiah melemah ke Rp 14.316 pada pukul 09.15 WIB. Ini semakin dekat dengan posisi penutupan kemarin di Rp 14.324 per dolar AS.

Mayoritas mata uang Asia lainnya bergerak menguat. Yen Jepang menguat 0,12% bersama dolar Hong Kong 0,01%, dolar Singapura 0,15%, dolar Taiwan 0,05%, won Korea Selatan 0,44%, yuan Cina 0,08% dan bath Thailand 0,53%.

Sementara rupee India melemah 0,12% bersama peso Filipina 0,03% dan ringgit Malaysia 0,11%.

 Analis pasar uang Ariston Tjendra memperkirakan rupiah akan kembali melemah ke rentang Rp 14.350-14.380 hari ini, dengan potensi penguatan di Rp 14.300 per dolar AS.

Pergerakan rupiah masih dibayangi kenaikan yield obligasi pemerintah AS sebagai imbas rencana kenaikan suku bunga The Fed.

"Yield obligasi pemerintah AS terus menanjak pada perdagangan kemarin karena ekspektasi kenaikan suku bunga acuan AS sebanyak tiga atau empat kali," kata Ariston kepada Katadata.co.id, Selasa (18/1).

Yield US Treasury tenor 10 tahun sudah naik ke level 1,82% pada perdagangan kemarin. Level ini merupakan rekor tertinggi sejak Januari 2020.

Tren kenaikan sudah mulai terlihat sejak awal bulan ini yang konsisten bertahan di atas 1,7%.

Kenaikan juga pada tenor lainnya, yield tenor lima tahun ditutup di 1,6% pada perdagangan kemarin, dan tenor 30 tahun di 2,15%.

 Sebagaimana disebutkan Ariston, kenaikan yield US Treasury tampaknya dipengaruhi sikap bank sentral AS, The Fed, yang makin agresif dalam merespon kenaikan inflasi yang sudah menyentuh rekor tertinggi dalam empat dekade.

The Fed sepakat mempercepat pengurangan quantitative easing dan direncanakan berakhir pada Maret mendatang. Setelah itu, pasar mengantisipasi The Fed akan segera menaikkan bunga acuannya.

"Pengetatan moneter akan mendorong penguatan dollar AS karena bank sentral menarik likuiditas dolar di pasar," kata Ariston.

"Bila tren berlanjut, neraca perdagangan bisa defisit dan ini tidak menguntungkan rupiah," kata dia.

Surplus dagang Desember 2021 hanya sekitar US$ 1,02 miliar, di bawah ekspektasi pasar di kisaran US$ 3 miliar.

Realisasi ini jauh di bawah beberapa bulan sebelumnya yang sempat menyentuh US$ 5,74 miliar pada Oktober.

Selain itu, sentimen pelemahan juga datang dari meningkatnya kekhawatiran terhadap penyebaran varian Omicron.

Sekalipun varian baru ini menimbulkan gejala cenderung ringan, namun penyebaran yang meluas menyebabkan peningkatan restriksi di sejumlah negara. Kondisi tersebut bisa mendorong pasar mencari aman ke aset dolar AS.

 Sementara, analis pasar uang Bank Mandiri Rully Arya Wisnubroto memperkirakan rupiah akan bergerak di rentang Rp 14.288-14.343 per dolar AS.

Selain dibayangi sentimen pengetatan moneter The Fed, pergerakan rupiah juga menanti rapat dewan gubernur BI yang digelar pekan ini.

"Pasar akan menunggu sinyal yang akan diberikan oleh BI terkait kebijakan moneter ke depan menyikapi kemungkinan kenaikan bunga acuan The Fed yang lebih cepat dan pengaruhnya terhadap volatilitas Rupiah dan yield SBN," kata Rully kepada Katadata.co.id

Gubernur BI dijadwalkan menggelar RDG selama dua hari pada Rabu-Kamis (19 dan 20/1). Pertemuan mendatang merupakan rapat bulanan sekaligus cakupan tahunan.



Reporter: Abdul Azis Said