International Monetary Fund (IMF) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia pada 2022 sebesar 4,4%. Ini lebih rendah 0,5% dari perkiraan dalam laporan World Economic Outlook Oktober 2021 sebesar 4,9%, dan lebih rendah 1,5% dari perkiraan pertumbuhan 2021.
Wakil Direktur Pelaksana Pertama IMF Gita Gopinath mengatakan bahwa proyeksi pertumbuhan yang lebih rendah ini disebabkan pemulihan ekonomi Amerika Serikat dan Cina yang tertahan karena gangguan pasokan, inflasi tinggi, krisis utang, dan ketidakpastian imbas varian Omicron.
“Varian omicron akan membebani aktivitas ekonomi pada kuartal pertama tahun 2022, namun akan memudar pada kuartal kedua. Penyebaran Omicron telah menyebabkan pembatasan mobilitas baru di banyak negara dan meningkatkan kekurangan tenaga kerja," ujarnya seperti dikutip Al Jazeera, Rabu (26/1).
IMF memperkirakan Ekonomi AS diperkirakan tumbuh 4% atau 1,2% lebih rendah dari proyeksi sebelumnya disebabkan anggaran belanja “Build Back Better” Presiden Joe Biden yang tak disetujui Senat, pelonggaran stimulus pandemi bank sentral AS, serta inflasi tinggi.
Sedangkan Cina diramal tumbuh 4,8% atau 0,8% lebih rendah dari proyeksi sebelumnya disebabkan kebijakan Covid-19 yang melemahkan bisnis dan tekanan berkelanjutan di sektor properti yang mengalami krisis utang.
"Gangguan pasokan masih membebani aktivitas dan berkontribusi pada inflasi yang lebih tinggi," menambah tekanan dari permintaan yang kuat dan kenaikan harga makanan dan energi,” kata Gopinath. Simak proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia versi laporan World Economic Outlook IMF Oktober 2021 pada databoks berikut:
Ketidakseimbangan pasokan-permintaan diasumsikan menurun selama tahun 2022 dengan industri yang akan terus meningkatkan pasokannya, sedangkan permintaan secara bertahap menyeimbangkan kembali dari barang ke jasa, serta kebijakan Covid-19 yang mulai dicabut.
IMF juga telah merevisi perkiraan inflasi 2022 untuk negara maju dan emerging market, serta negara berkembang. Tekanan harga yang tinggi diperkirakan akan bertahan lebih lama dengan asumsi ekspektasi inflasi tetap terjaga, inflasi diperkirakan akan mereda pada 2023.
“Namun perkiraan tersebut tunduk pada ketidakpastian yang tinggi dan risiko secara keseluruhan mengarah ke sisi penurunan, termasuk munculnya varian yang lebih mematikan,” kata Gopinath.
Dengan kenaikan suku bunga, negara-negara berpenghasilan rendah, di mana 60%-nya sudah berada dalam atau berisiko tinggi mengalami kesulitan utang, akan semakin sulit untuk membayar utangnya. IMF juga telah berulang kali menekankan perbedaan dalam prospek di seluruh negara.
"Ekonomi maju diproyeksikan untuk kembali ke tren pra-pandemi tahun ini, beberapa negara emerging market dan negara berkembang diproyeksikan memiliki kerugian output yang cukup besar dalam jangka menengah," kata Gopinath.
Sampai sekarang hanya 4% dari populasi negara-negara berpenghasilan rendah yang telah divaksinasi penuh. Sebaliknya di negara-negara berpenghasilan tinggi vaksinasi telah mencapai 70% dari total populasi.
Di tingkat nasional, tambahnya, kebijakan harus tetap disesuaikan dengan keadaan spesifik negara termasuk tingkat pemulihan, tekanan inflasi yang mendasari dan ruang kebijakan yang tersedia.
Gopinath mencatat bahwa masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk memastikan kerugian dapat dikendalikan dan untuk mengurangi kesenjangan yang lebar dalam prospek pemulihan di seluruh negara.
Pada iklim, "dorongan yang lebih besar" diperlukan untuk mencapai emisi karbon nol bersih pada 2050, dengan mekanisme penetapan harga karbon, investasi infrastruktur hijau, subsidi penelitian, dan inisiatif pembiayaan.
IMF memperkirakan pertumbuhan global akan melambat menjadi 3,8% pada 2023. Ini 0,2% lebih tinggi dari proyeksi dalam World Economic Outlook Oktober 2021. Ini menunjukkan sebagian besar hambatan yang ada saat ini terhadap perekonomian mulai menghilang.