Bank Dunia Soroti Lambatnya Pemulihan Ekonomi Negara Miskin

ANTARA FOTO/REUTERS/Baz Ratner/WSJ/dj
Bocah perempuan di penampungan sementara, di kamp pengungsian Village 8 yang menampung pengungsi asal Ethiopia, Rabu (2/12). Bank Dunia mencatat baru 21% negara miskin yang ekonominya pulih ke level sebelum pandemi.
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
17/2/2022, 08.38 WIB

Pemulihan ekonomi negara-negara dunia terus berlanjut tetapi masih menghadapi tantangan terutama dari sisi keseimbangan laju pemulihan antarnegara. Bank Dunia menyoroti pemulihan ekonomi lebih lambat bagi negara miskin saat negara maju sudah berangsur menuju normal.

Bank Dunia mengatakan, bukti yang ada sejauh ini menunjukkan bahwa dampak ekonomi dari pandemi akan lebih persisten dan lebih parah bagi negara berkembang dan miskin. Hal ini terlihat dari pemulihan pendapatan per kapita di negara miskin akan lebih lambat, baru seperlima dari negara miskin yang pendapatan per kapitanya kembali ke level sebelum pandemi.

Sekitar 40% negara maju melaporkan pendapatan per kapitanya sudah pulih dan melampaui level sebelum pandemi atau pada tahun 2019. Kondisi ini berbeda bagi negara berkembang, baru 27% diantara mereka yang pendapatan per kapitanya sudah menyentuh level sebelum pandemi.

"Perbandingan negara-negara miskin yang mencapai pendapatan per kapita pada tahun 2021 yang melampaui output 2019 mereka jauh lebih rendah, sebesar 21%. Ini menunjukkan bahwa pemulihan yang lebih lambat di negara-negara miskin," kata Bank Dunia dalam laporan terbarunya dikutip Kamis (17/2).

Kondisi pemulihan makin berat bagi negara miskin karena sumber daya untuk mendukung pemulihan juga makin terbatas. Daya dukung utang publik dan swasta di negara miskin jauh lebih rendah dibandingkan negara maju. Selain itu, dalam banyak kasus, kondisi ekonomi mereka memang sudah menantang bahkan sebelum adanya pandemi.

Ketidakseimbangan pemulihan ekonomi juga terlihat dari meningkatnya kemiskinan ekstrem yang sebagian besar berasal dari negara miskin. Bank Dunia memperkirakan dampak pandemi terhadap kenaikan angka kemiskinan ekstrim akan jauh lebih buruk dibandingkan yang terjadi saat krisis keuangan Asia tahun 1997-1998. Sebelum pandemi, sekitar 635 juta orang diproyeksikan hidup dalam kemiskinan ekstrim, dan pada tahun 2020, setelah terjadinya pandemi proyeksi jumlah penduduk miskin meningkat menjadi 732 juta.

"Peningkatan kemiskinan ini kemungkinan akan berlanjut karena akses yang tidak setara ke vaksin dan kemungkinan gelombang pandemi di masa depan menimbulkan hambatan bagi pemulihan," kata Bank Dunia.

Satu dari lima orang miskin akibat pandemi pada tahun 2021 diperkirakan tinggal di negara-negara miskin, yang merupakan 9% dari populasi dunia. Selain itu, lebih dari 90% dari mereka yang dianggap penduduk miskin baru akibat Covid-19 berada di negara-negara miskin dan pendapatan menengah ke bawah.

Dengan risiko berlanjutnya kenaikan jumlah penduduk miskin ekstrim tersebut, Bank Dunia pesimistis negara-negara dunia tidak bisa mencapai targetnya menghilangkan kemiskinan ekstrem pada tahun 2030. Untuk mencapai target kemiskinan ekstrem hanya 3% pada tahun 2030, negara-negara dunia harus bisa mencapai pertumbuhan pendapatan per kapita 8% per tahun, yang artinya harus lima kali lebih tinggi dari pertumbuhan normal negara-negara sub-Sahara Afrika.

Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan negara miskin bisa tumbuh cukup kuat 5,3% pada tahun ini dan semakin kuat di 5,5% pada tahun depan. Ini lebih tinggi dibandingkan proyeksi pertumbuhan negara maju di 3,9% tahun ini dan melambat di 2,6% pada tahun depan.

Reporter: Abdul Azis Said