G20 Beri Penangguhan Utang Rp 184 T Bagi Negara Miskin Saat Pandemi

Freepik
Ilustrasi negara miskin
Penulis: Abdul Azis Said
21/2/2022, 09.20 WIB

Inisiatif Layanan Penangguhan Utang (DSSI), yang salah satunya diinisiasi oleh negara-negara G20, memberikan penangguhan utang US$ 12,9 miliar atau Rp 184 triliun bagi negara miskin dan yang pasarnya tengah berkembang (emerging market).

Nominal utang yang berhasil ditangguhkan tersebut diberikan sejak 1 Mei 2020 sampai Desember 2021. DSSI merupakan kerangka kerja yang dikelola di bawah Bank Dunia dengan tujuan membantu negara-negara miskin dan berkembang mengurangi beban utang.

Dengan begitu, negara-negara miskin dan berkembang dapat memfokuskan sumber daya untuk penanganan pandemi corona dan melindungi masyarakat.

Fasilitas DSSI bukan hanya diinisiasi oleh G20, tetapi juga negara-negara Klub Paris. Ini merupakan kelompok negara kreditur utama dunia yang beberapa di antaranya ialah negara maju di luar anggota G20. 

"Kami menyambut baik pencapaian itu” demikian isi Communique pertemuan jalur keuangan G20 Presidensi Indonesia dikutip Senin (21/2). “Meskipun ada catatan yakni kurangnya partisipasi sektor swasta.”

Ada 73 negara miskin dan berkembang yang memenuhi persyaratan untuk memperoleh bantuan tersebut. Sebagian besar berada di Asia, Afrika dan Amerika Latin seperti Pakistan, Afghanistan, Somalia, Angola, Tonga hingga Kosovo.

Data Bank Dunia menunjukkan, khusus untuk utang yang ditangguhkan pada 2020, negara yang memanfaatkan  paling besar yakni Pakistan dan Angola.

Sebaliknya, negara kreditur yang memberikan fasilitas penangguhan utang paling besar yakni Cina dan Prancis. Cina memberikan keringanan utang lebih dari US$ 1 miliar selama periode itu, jauh di atas Amerika yang hanya US$ 123 juta.

Fasilitas penangguhan utang itu membantu beberapa negara miskin dan berkembang memakai sumber daya untuk kebutuhan yang lebih mendesak, terutama Covid-19. Dalam catatan Bank Dunia, negara yang berpotensi memperoleh penghematan paling besar yakni Pakistan US$ 5,4 miliar dan Angola US$ 2,9 miliar.

"Persyaratan untuk berpartisipasi dalam inisiatif ini yaitu negara penerima memiliki komitmen untuk menggunakan sumber daya ini guna melindungi pengeluaran sosial, kesehatan atau ekonomi dalam menangani krisis," demikian isi laman resmi DSSI.

Selain lewat keringanan utang di bawah fasilitas DSSI, negara-negara G20 mengkaji kerangka kerja Debt Treatment. Ini dibahas dalam pertemuan jalur keuangan pekan lalu.

Fasilitas itu bertujuan membantu negara-negara miskin dan berkembang merestrukturisasi utang, serta menangani masalah kebangkrutan dan likuiditas yang berkepanjangan.

Sudah ada tiga negara yang mengajukan negosiasi utangnya lewat fasilitas Debt Treatment ini, yakni Chad, Ethiopia dan Zambia.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan, banyak kreditur yang merupakan anggota G20. “Mereka tentunya punya mekanisme sendiri,” ujar dia dalam konferensi pers usai pertemuan jalur keuangan G20, Jumat (18/2).

Oleh karena itu, Presidensi Indonesia menjadi penting untuk menjembatani negara-negara tersebut mengajukan negosiasi utang lewat fasilitas Debt Treatment. “Mereka harus segera dibantu," ujar Sri Mulyani.

Selain itu, pertemuan para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 pekan lalu turut membahas upaya lebih lanjut rechanneling dana darurat SDR kepada negara miskin dan berkembang.

Dana Moneter Internasional (IMF) mencairkan dana darurat SDR setara US$ 650 miliar yang dibagikan kepada negara-negara anggota. Kendati demikian, G20 berkomitmen memobilisasi US$ 100 miliar dana SDR yang diperoleh negara maju untuk kemudian disalurkan kepada negara yang membutuhkan.

Realisasinya sampai saat ini US$ 60 miliar dana yang dijanjikan akan dilakukan rechanneling.

Reporter: Abdul Azis Said

Dalam rangka mendukung kampanye penyelenggaraan G20 di Indonesia, Katadata menyajikan beragam konten informatif terkait berbagai aktivitas dan agenda G20 hingga berpuncak pada KTT G20 November 2022 nanti. Simak rangkaian lengkapnya di sini.