RI Butuh Rp 3.461 T Atasi Perubahan Iklim, Ini Strategi Sri Mulyani

Antara/Aprillio Akbar
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, pemerintah telah menerbitkan Green Bond di pasar global yang mencapai US$ 3,5 miliar sejak 2008
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
22/2/2022, 14.31 WIB

Indonesia membutuhkan pendanaan mencapai Rp 3.461 triliun untuk menangani perubahan iklim hingga 2030.  Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menjadi instrumen penting dalam pemenuhan pendanaan tersebut dalam bentuk belanja negara, insentif perpajakan, hingga pembiayaan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, pihaknya sudah menyusun kerangka kebijakan untuk mendukung penanganan perubahan iklim yang disebut Climate Change Fiscal Framework. Melalui kerangka kebijakan ini, APBN menjalankan perannya untuk mencapai target penurunan emisi karbon yang dilakukan melalui tiga sisi, yakni pendapatan negara, belanja dan pembiayaan.

"Dari sisi penerimaan negara, pemerintah menggunakan kebijakan perpajakan untuk bisa memberikan insentif bagi dunia usaha agar kemudian melihat kesempatan dalam investasi di perekonomian hijau sebagai suatu peluang yang baik," kata Sri Mulyani dalam sebuah webinar, Selasa (22/2).

Pemerintah telah mengguyur sejumlah insentif perpajakan, seperti tax holiday, tax allowance, pembebasan bea masuk impor, pengurangan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) Ditanggung Pemerintah (DTP), hingga pemberian pengurangan pajak bumi bangunan khusus untuk pengembangan energi panas bumi. Pemberian berbagai insentif perpajakan tersebut dengan tujuan agar dunia usaha bisa mengakselerasi kegiatan investasinya di sektor ekonomi hijau.

Selain itu, pemerintah melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) juga telah memperkenalkan adanya pajak karbon. Instrumen kebijakan ini juga diharap mampu mempengaruhi perilaku sektor swasta untuk meningkatkan investasinya ke sektor-sektor ekonomi hijau. Keberadaan pajak karbon ini akan melengkapi mekanisme pasar karbon yang kini juga mulai dikembangkan.

Selain dari sisi penerimaan, kehadiran APBN untuk penanganan perubahan iklim juga dilakukan melalui instrumen belanja negara. Pemerintah telah memperkenalkan belanja perubahan iklim sejak 2016 melalui yang disebut sebagai climate budget tagging alias penandaan anggaran pemerintah yang didedikasikan untuk perubahan iklim. Sejak tahun 2020, climate budget tagging juga mulai diperkenalkan untuk penyusunan anggaran daerah di 11 pemerintah daerah.

"Belanja pemerintah ini melalui belanja-belanja baik belanja barang maupun modal tentu memiliki peran penting dalam mendorong investasi dalam perubahan iklim ini," kata Sri Mulyani.

Belanja perubahan iklim yang sudah digelontorkan pemerintah lewat APBN pada tahun lalu mencapai Rp 112,74 triliun. Nilainya naik Rp 40,3 triliun dibandingkan alokasi tahun sebelumnya serta mencapai 4% dari total belanja negara tahun lalu. Catatan Kementerian Keuangan, dalam lima tahun terakhir sejak 2016, alokasi belanja untuk perubahan iklim telah mencapai Rp 562,68 triliun.

Lebih lanjut, kehadiran APBN dalam menangani perubahan iklim juga dilakukan melalui instrumen pembiayaan anggaran. Melalui upaya ini, pemerintah telah meluncurkan sejumlah instrumen surat utang yang berorientasi pada dukungan untuk perubahan iklim dan target pembangunan berkelanjutan (SDG's).

Sri Mulyani mengatakan, pemerintah telah menerbitkan Green Bond di pasar global yang mencapai US$ 3,5 miliar sejak 2008. Pemerintah juga sudah menerbitkan Green Sukuk yang disebut berhasil menjadi salah satu instrumen yang cukup diminati di tingkat global. Di pasar domestik, pemerintah juga sudah menerbitkan Green Sukuk Retail sejak 2019 yang berhasil meraup pendanaan hingga RP 11,8 triliun.

"Ini adalah cara untuk mendiversifikasi pembiayaan dari sisi APBN, namun dari sisi lain juga meningkatkan komitmen yang nyata mengenai kegiatan-kegiatan yang bersifat hijau dan mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan," kata Sri Mulyani.

 

Reporter: Abdul Azis Said