Kenaikan harga minyak akibat perang Rusia dan Ukraina memberi beban tambahan kepada belanja pemerintah. Meski demikian, Kementerian Keuangan memastikan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) masih aman.
Plt. Kepala Pusat Kebijakan APBN Kementerian Keuangan Wahyu Utomo mengatakan, peningkatan harga komoditas minyak dan gas (Migas) akan berpengaruh langsung terhadap perhitungan belanja subsidi energi. Di sisi lain, kenaikan harga minyak akan mempengaruhi alokasi Dana Bagi Hasil (DBH), serta anggaran pendidikan dan kesehatan.
"Namun demikian, sejauh ini dampak terhadap APBN dapat dimitigasi dengan baik sehingga defisit tetap terkendali dalam batas aman," kata Wahyu kepada Katadata.co.id, Rabu (9/3).
Dampak kenaikan harga migas ini tidak hanya menimbulkan beban bagi APBN tapi juga memberi 'keuntungan' dari sisi pendapatan negara. Wahyu mengatakan, kenaikan harga komoditas akan berpengaruh terhadap kegiatan ekonomi di sektor pertambangan dan sektor lainnya yang terkait, dengan begitu akan memberi dampak juga kepada setoran pajak yakni Pajak penghasilan (PPh) migas, dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) terutama dari PNBP Sumber Daya Alam (SDA) Migas.
Wahyu mengatakan, pemerintah juga sudah menyiapkan langkah antisipasi dan mitigasi risiko terkait dampak lonjakan harga komoditas migas ini. Ia menekankan, pemerintah akan terus memonitor dinamika perekonomian dan volatilitas harga komoditas. Selain itu, respons kebijakan akan mempertimbangkan stabilitas ekonomi, daya beli masyarakat miskin dan rentan, serta keberlanjutan fiskal dan badan usaha.
Sementara itu, ekonom LPEM FEB UI Teuku Riefky memperkirakan, kenaikan harga minyak ini akan memperlebar pada defisit APBN tahun ini. Meski demikian, kenaikan harga yang juga terjadi di sejumlah komoditas andalan ekspor Indonesia seperti CPO dan batu bara dapat membantu meringankan pelebaran defisit tersebut.
"Sekalipun terjadi windfall dari sejumlah komoditas ekspor, dugaan saya APBN tetap akan defisit karena beban subsidi ini sangat besar, tapi ini kemungkinan tidak sebesar kalau kita hanya melihat dari sisi kenaikan harga minyak saja," kata Riefky kepada Katadata.co.id.
Selain itu, menurut dia, Indonesia juga masih memiliki ekspor minyak meskipun merupakan net importir. Oleh karena itu, menurut dia, kenaikan harga minyak juga dapat memberi tambahan setoran pajak maupun PNBP meski tidak seberapa jika dibandingkan pembengkakan belanja subsidi.
Berbeda dari Riefky, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai lonjakan harga minyak ini positif terhadap APBN. Dalam analisis sensitivitas perubahan asumsi dasar ekonomi makro APBN 2022, kenaikan harga minyak mentah Indonesia (ICP) sebesar US$ 1 per barel akan menambah setoran ke negara hingga Rp 3 triliun. Sebaliknya, kenaikan dengan nilai yang sama akan membuat belanja negara membengkak Rp 2,6 triliun, sehingga sebenarnya masih ada surplus sebesar Rp 400 miliar.
Sementara itu, kenaikan harga-harga komoditas juga akan berdampak positif kepada surplus neraca dagang. "Kalau kita melihatnya secara parsial tentu kenaikan harga minyak saja memang akan mendorong pelebaran defisit migas, tapikan pada saat yang sama kita juga melihat harga sejumlah komoditas ekspor kita lainnya juga naik," kata dia.