Nilai tukar rupiah dibuka melemah 15 poin ke level Rp 14.352 per dolar AS di pasar spot Selasa (22/3) pagi ini. Pelemahan rupiah terimbas sinyal bank sentral Amerika Serikat yang berpeluang menaikkan bunga acuannya lebih agresif untuk memerangi inflasi.
Mengutip Bloomberg, rupiah melanjutkan pelemahan ke Rp 14.353 pada pukul 09.15 WIB. Ini semakin jauh dari posisi penutupan kemarin di Rp 14.3377 per dolar AS.
Mata uang Asia lainnya kompak melemah pagi ini. Yen Jepang melemah 0,36%, dolar Hong Kong 0,03%, dolar Singapura 0,1%, dolar Taiwan 0,31%, won Korea Selatan 0,47%, peso Filipina 0,09%, yuan Cina 0,15%, ringgit Malaysia 0,24% serta rupee India dan bath Thailand yang melemah 0,42%.
Analis pasar uang Ariston Tjendra memperkirakan rupiah akan melemah ke arah Rp 14.360-Rp 14.380 , dengan potensi support di kisaran Rp 14.300 per dolar AS. Pelemahan rupiah masih terimbas sentimen pengetatan moneter bank sentral Amerika Serikat, The Fed.
"Nilai tukar rupiah kemungkinan melemah karena pernyataan Gubernur The Fed semalam yang memberikan indikasi bahwa The Fed akan agresif memerangi inflasi," kata Ariston, Selasa (22/3).
Gubernur The Fed Jerome Powell menyebut pihaknya siap mengambil langkah kebijakan yang lebih agresif jika memang diperlukan. Langkah ini tidak menutup kemungkinan adanya kenaikan bunga acuan lebih dari 25 bps pada pertemuan Mei.
Seperti diketahui, The Fed sudah mengumumkan kenaikan bunga acuan pertama pada pertemuan pekan lalu dan diperkirakan masih akan ada enam kenaikan lagi sampai akhir tahun.
Selain tertekan sentimen pengetatan moneter The Fed, pelemahan rupiah hari ini juga masih dipengaruhi sentimen perang Rusia dan Ukraina. Uni Eropa sedang mempertimbangkan untuk mengikuti langkah Amerika Serikat melarang impor minyak mentah dari Rusia.
"Kabar ini mendorong kembali kenaikan harga minyak mentah yang juga mendorong kembali risiko inflasi global. Kekhawatiran inflasi ini bisa menekan harga aset berisiko," kata Ariston.
Harga minyak mentah WTI kontrak April naik 2,73% pagi ini menjadi US$ 114,85 per barel, begitu juga Bren kontrak Mei naik 3,2% menjadi US$ 118,82 per barel.
Selain itu, sentimen negatif akibat perang juga dipengaruhi negosiasi antara kedua negara yang belum juga mencapai kata sepakat. Sebagian pelaku pasar skeptis perang akan berakhir lebih lama, sehingga tekanan ke inflasi global berpeluang semakin tinggi karena gangguan suplai komoditas.
Sementara itu, Ariston belum melihat adanya sentimen yang cukup kuat mempengaruhi pergerakan rupiah hari ini.
Senada dengan Ariston, analis pasar uang Bank Mandiri Rully A Wisnubroto juga melihat rupiah akan tertekan akibat pernyataan The Fed semalam. Sinyal adanya langkah lebih agresif ini juga telah mendorong kenaikan imbal hasil (yield) US Treasury.
Yield US Treasury tenor 10 tahun naik ke 2,32% pada Senin (21/2). Yield US Treasury sudah bergerak di atas 2% sejak pekan lalu di tengah penantian rapat The Fed.
"Secara teknikal, pada perdagangan hari ini kami memperkirakan rupiah akan berada pada rentang Rp 14.312 dan Rp 14.363 per dolar AS," kata Rully.