Rupiah Loyo ke 14.537 per US$ Tertekan Kekhawatiran Perang dan Inflasi

ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/YU
Ilustrasi. Rupiah pagi ini bergerak melemah bersama mayoritas mata uang Asia.
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
28/3/2022, 09.36 WIB

Nilai tukar rupiah dibuka melemah enam poin ke level Rp 14.352 per dolar AS di pasar spot pagi ini. Rupiah tertekan oleh penantian pasar terhadap rilis data ekonomi pekan ini, antara inflasi domestik.

Mengutip Bloomberg,  rupiah bergerak melemah dari posisi pembukaan ke Rp 14.357 per dolar AS pada pukul 09.30 WIB, kian melemah dari posisi penutupan pekan lalu di Rp 14.346 per dolar AS.

Mayoritas mata uang Asia lainnya melemah pagi ini. Yen Jepang anjlok 0,79% disusul won Korea Selatan 0,59%, dolar Taiwan 0,38%, bath Thailand 0,22%, yuan Cina 0,21%, dolar Singapura dan peso Filipina kompak melemah 0,18%, dolar Hong Kong dan ringgit Malaysia 0,02%. Sementara rupee India satu-satunya yang menguat yakni 0,22%.

Analis pasar uang Bank Mandiri Rully A Wisnubroto memperkirakan, rupiah hari ini cenderung melemah dan bergerak di rentang Rp 14.327-Rp 14.376 per dolar AS. Pergerakan rupiah terutama akan dipengaruhi oleh penantian sejumlah rilis data ekonomi baik dari dalam maupun luar negeri pada pekan ini.

"Pasar menunggu publikasi data ekonomi di akhir pekan ini, yaitu inflasi dari dalam negeri dan data ketenagakerjaan non-farm payrolls AS pada hari Jumat mendatang," kata Rully kepada katadata.co.id, Senin (28/3).

Ia mengatakan, pasar mengkhawatirkan rilis data inflasi domestik untuk periode Maret yang mulai meningkat pada pengumuman mendatang.

Sementara itu, rilis data tenaga kerja Amerika Serikat diperkirakan memberikan sinyal baru terkait kelanjutan rencana bank sentral Amerika Serikat (The Fed) menaikkan bunga acuannya.  Selain data inflasi, The Fed menggunakan data pemulihan tenaga kerja sebagai pertimbangan untuk kebijakan moneternya.

Senada dengan Rully, analis pasar uang Ariston Tjendra memperkirakan rupiah akan tertekan di rentang Rp 14.360-Rp 14.380 per dolar AS. Selain rencana rilis data ekonomi pekan ini, pelemahan juga masih dibayangi sentimen perang Rusia dan Ukraina.

"Belum ada perkembangan menuju kesepakatan damai. Perang telah memicu risiko inflasi dengan naiknya harga-harga komoditi dimana inflasi bisa menekan pertumbuhan ekonomi global," kata Ariston.

Sejumlah perkiraan menunjukkan inflasi akan naik pada tahun ini. Salah satunya dipicu oleh kenaikan harga energi terimbas perang. Dana Moneter Internasional (IMF) juga berencana memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini.

Kenaikan bunga acuan The Fed yang diumumkan pertengahan bulan ini juga masih membayangi pergerakan rupiah, terutama seiring kenaikan imbal hasil (yield) US Treasury. Yield terus naik sejak beberapa pekan terakhir dan  mendekati level 2,5% pada akhir pekan lalu, tertinggi sejak Mei 2019. Kenaikan yield ini juga tidak lepas dari adanya rencana The Fed untuk menaikkan bunga lagi sampai enam kali di sisa pertemuan pembuat kebijakannya tahun ini.

"Kenaikan tingkat imbal hasil tersebut mengindikasikan pasar berekspektasi kenaikan suku bunga acuan AS akan lebih agresif tahun ini," kata Ariston.

Sementara dari dalam negeri, menurut Ariston, sentimen kepada rupiah cukup positif. Ini terutama dipengaruhi pelonggaran aktivitas ekonomi dan surplus neraca perdagangan. Pemerintah sudah melonggarkan persyaratan untuk perjalanan baik domestik dengan menghapuskan syarat tes Covid-19 serta membolehkan masyarakat untuk mudik. Selain itu, masa karantian dari luar negeri juga sudah dihapuskan.



Reporter: Abdul Azis Said