Kementerian Keuangan memastikan kenaikan inflasi pada tahun ini masih akan berada di rentang target pemerintah, yakni tak melebihi 4%. Perkiraan tersebut sudah memperhitungkan sejumlah faktor, termasuk kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 11% yang berlaku mulai 1 April.
"Itu sudah termasuk dampak dari semua harga yang kita pantau per saat ini dan juga termasuk kenaikan PPN dari 10% menjadi 11%," kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu dalam Konferensi Pers APBN KiTA edisi Maret, Senin (28/3).
Dia memastikan berbagai kebijakan yang diambil pemerintah, termasuk menaikkan tarif PPN, sudah direncanakan secara baik bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dampak dari kebijakan tersebut kepada masyarakat dipastikan masih terjaga. Selain itu, pemerintah juga terus memantau risiko efek limpahan dari kenaikan harga komoditas global kepada inflasi di dalam negeri.
Bank Indonesia sebelumnya juga memperkirakan inflasi pada tahun 2022 ini akan terkendali dalam sasaran 2%-4%. Kondisi ini sejalan dengan masih memadainya sisi penawaran dalam merespons kenaikan sisi permintaan, tetap terkendalinya ekspektasi inflasi, stabilitas nilai tukar Rupiah, serta respons kebijakan yang ditempuh bank sentral bersama pemerintah.
"Sejumlah risiko terhadap inflasi terus diwaspadai, termasuk dampak kenaikan harga komoditas global," kata Gubernur BI Perry Warjiyo saat pengumuman hasil keputusan Rapat Dewan Gubernur BI, Kamis (17/3).
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menyebut kenaikan tarif PPN 1% mulai bulan depan sebetulnya tidak begitu besar. Namun, berpotensi mengerek inflasi mengingat pemberlakuan tarif bersamaan dengan periode musiman Ramadhan dan menjelang lebaran. Ia memproyeksikan, inflasi ramadhan kali ini lebih tinggi dibandingkan dua tahun sebelumnya.
"Pada April diperkirakan ada tambahan 0,3% - 0,5%, khusus dari PPN saja, di luar dari efek Lebaran dan potensi kenaikan inflasi setelah keputusan pemerintah yang sudah membolehkan mudik," ujar Josua kepada Katadata.co.id, Kamis (24/3).
Meski begitu, menurut dia, pemerintah dan bank sentral bisa mengurangi risiko kenaikan inflasi tersebut dan menstabilkan kenaikan harga pangan. Jika hal ini dilakukan, kenaikan tarif PPN 1% bulan depan tidak akan signifikan mengerek inflasi.
Di samping itu, kenaikan tarif ini pun tidak akan signifikan menggerus daya beli masyarakat. Hal ini karena pemerintah juga masih memberi fasilitas pembebasan PPN untuk sejumlah kebutuhan pokok yang dikonsumsi masyarakat, terutama kelompok menengah bawah. Dengan demikian, kenaikan tarif kemungkinan lebih berdampak pada barang-barang yang dikonsumsi oleh kelompok menengah atas.
"Dampaknya ke konsumsi kelompok menengah atas tidak akan begitu signifikan karena saat pandemi pendapatannya tidak terpengaruh, mereka hanya mengurangi belanja. Maka, kenaikan PPN 1% ini tidak akan mengurangkan daya belinya," kata dia.
Seperti diketahui, pemerintah berencana menaikkan tarif PPN menjadi 11% mulai 1 April 2022 serta kenaikan menjadi 12% paling lambat awal 2025. Meski demikian, sampai saat ini aturan pelaksana untuk kenaikan PPN tersebut masih terus difinalisasi.