Perang Rusia dan Ukraina yang mengerek kenaikan harga-harga sejumlah komoditas pangan berpeluang mengganggu target pemerintah membebaskan masyarakat dari kelaparan pada 2030. Kenaikan harga berpotensi mempengaruhi kemampuan masyarakat dalam mengakses kebutuhan pangan pokok.
Lead Co-Chair T20 Indonesia Bambang Brodjonegoro mengingatkan bahwa pengentasan kelaparan menjadi salah satu dari 17 target dalam tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs). Melalui komitmen ini, negara-negara dunia menargetkan nol kelaparan atau ipada 2030.
"Definisi kelaparan ini tidak hanya sekedar tidak adanya suplai atau kurangnya produksi dari makanan, tapi juga terkait dengan harga. Bisa saja produksinya cukup atau melimpah tapi harganya tidak terjangkau, sehingga tetapi ada potensi sebagian kelompok masyarakat menderita kelaparan," kata Bambang dalam Indonesia Data and Economic Conference (IDE) 2022 yang digelar Katadata.co.id, Kamis (7/3).
Dia mengatakan, kenaikan harga sejumlah barang kebutuhan pokok yang dikategorikan sebagai soft commodity antara lain dipicu oleh perang di Ukraina. Konflik di negara bekas Uni Soviet tersebut telah menyebabkan gangguan pasokan yang menyebabkan spekulasi kenaikan harga.
Harga pangan ini memberikan andil yang cukup besar dalam perhitungan inflasi di Indonesia. Dengan demikian, kenaikan harga pangan ini dipastikan akan sangat berpengaruh pada indeks harga di tingkat konsumen. Dengan kenaikan harga, maka pengaruh terbesar terutama pada kelompok masyarakat 40% termiskin.
Dengan risiko tersebut, maka pengendalian inflasi dari sisi produsen dinilai penting. Ia meminta setiap pihak yang terlibat dalam perdagangan komoditas pangan bertanggung jawab dan tidak terlibat dalam spekulasi harga.
"Mencari profit tentu menjadi tujuan utama investor, tapi kami juga ingin upaya mencari profit tersebut dilakukan dengan bertanggungjawab ke masyarakat yang tentu nanti bisa terdampak kalau terjadi pola perdagangan yang spekulatif," ujarnya.
Namun perang yang mengerek kenaikan inflasi bukan satu-satunya faktor yang dapat mengganggu tercapainya target pemerintah untuk mengentaskan kelaparan. Risiko lainnya, yaitu masalah degradasi lingkungan yang bisa mengganggu sisi produksi sehingga pasokan pangan terbatas.
Dalam studi International Food Policy Research Institute (IFPRI) tahun 2019, degradasi lingkungan dan perubahan iklim dapat membuat 11,4 juta masyarakat Indonesia kelaparan pada 2050.
Faktor lainnya datang dari kebiasaan buruk konsumsi yang kurang bertanggung jawab dengan menumpuknya sampah makanan. Dalam hitungan Bappenas tahun lalu, sekitar sepertiga dari semua makanan yang diproduksi hilang atau terbuang. Jumlah ini mencapai 0,5 kilogram per orang dalam setiap harinya pada 2019. Nilai nutrisi yang terkandung pada limbah makanan tersebut bisa mencukupi kebutuhan 125 juta jiwa.
"Jadi kita harus mewaspadai tiga hal ini, inflasi pangan, degradasi lingkungan, serta pola konsumsi kita yang tidak berkelanjutan, agar kita benar-benar bisa mencegah terjadinya kelaparan di masa depan," ujarnya.
Tingkat kelaparan Indonesia menurut Global Hunger Index (GHI) menempati urutan ketiga tertinggi di Asia Tenggara pada 2021. Indonesia mendapatkan skor indeks sebesar18 poin atau termasuk dalam level moderat. Skor ini telah berada di atas rata-rata global yang sebesar 17,9 poin.