Pemerintah menghadapi sejumlah tantangan dalam penerapan pajak karbon, beberapa di antaranya adalah penentuan tarif pajak karbon, transparansi pelaksanaan kebijakan, dan negosiasi yang dilakukan para pengusaha di sektor energi.
Sebelumnya, pemerintah menetapkan tarif pajak karbon senilai Rp 30 per kilogram atau Rp 30.000 per Ton CO2 dan diharap dapat terlaksana tahun ini di sektor PLTU batu bara. Selanjutnya, implementasi dan perluasan pajak karbon akan dilaksanakan pada 2025.
Hal ini sejalan dengan kebijakan energi nasional dari trasnsisi energi fosil ke energi bersih yang minim emisi. Pada tahun 2030, Sektor energi Indonesia ditagerkan dapat menurunkan emisi sejumlah 314 sampai 446 juta ton CO2.
Direktur Mobilliasasi Sumber Daya Sektoral dan Regional Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wahyu Marjaka mengatakan, tarif pajak karbon harus lebih tinggi agar mendorong para pengusaha melakukan aksi mitigasi.
Menurutnya, jika tarif pajak karbon lebih murah dibandingkan harga effort untuk mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 29% pada 2030, hal tersebut akan mendorong publik maupun perusahaan lebih memilih membayar pajak daripada melakukan mitigasi.
“Kalau itu terjadi pasti target Indonesia’s Nationally Determined Contribution (NDC) tidak akan tercapai,” kata Wahyu dalam acara Indonesia Data and Economic Conference (IDE) Katadata 2022, Jumat (8/4).
Memory Machingambi, Senior Economist Environmental and Fuel Taxes, mengatakan ada sejumlah tantangan dalam penerapan pajak karbon. Salah satunya yakni, adanya lobi-lobi dari kelompok pelaku usaha energi fosil yang ingin mempertahankan bisnis mereka.
Sebagai warga negara Afrika Selatan, Memory mengatakan, negara yang perekonomiannya bertumpu pada sektor pertambangan ini butuh waktu 10 tahun untuk menyelesaikan lobi-lobi politik untuk kebijakan pajak karbon.
“Saya pikir, beberapa tantangan, ada kelompok lobi bahan bakar fosil yang kuat yang terus ingin melakukan bisnis seperti biasa. Mereka banyak melobi,” kata Memory.
Ia melanjutkan, cara yang digunakan negaranya untuk meredam praktik lobi pengusaha energi fosil adalah memberikan sejumlah insentif dan kompromi mengenai penetapan harga pajak kabron.
“Salah satu tantangan di Indonesia adalah dalam hal administrasi dan legislasi. Ketika sampai pada titik implementasi, Indonesia mungkin menemukan banyak kompromi yang harus dilakukan,” sambungnya.
Sementara itu, Deputy Head Federal Ministry fo Ecomomic Affairs and Climate Action of Germany, Malin Ahlberg, mengatakan, di Jerman dan sejumlah nagara di Uni Eropa tidak memiliki aturan pajak karbon yang spesifik. Dalam menekan emisi, mereka memberlakukan kebijakan Emissions Trading System (ETS) sejak 2021.
Kebijakan tersebut menyasar pada sektor transportasi dan rumah tangga, khususnya pada pemanas bangunan rumah pribadi maupun gedung-gedung perkantoran.
“Dua sektor itu secara bersama-sama memasok lebih dari 80% emisi gas rumah kaca di Jerman,” ujar Malin.
Malin menjelaskan, kebijakan ETS di Uni Eropa tetap memberikan kepastian investasi untuk sektor bisnis dan distribusi harga yang terjangkau. Pemerintah Jerman mengharapkan para pengguna energi fosil untuk melakukan upaya mitigasi emisi ketimbang membayar ETS.
Malin menyebut, penetapan harga ETS di Jerman mendapat dukungan publik karena Pemerintah secara efektif melakukan transparansi alokasi dari pendapatan ETS.
“Ini adalah pertanyaan tentang keadilan dalam hal sosial, tetapi juga keadilan di antara bisnis. Pada saat yang sama, ini adalah pertanyaan tentang bagaimana menggunakan pendapatan ETS dan secara transparan juga mengkomunikasikan kepada publik bagaimana ini dibelanjakan setelahnya,” tukas Malin.