Ekspor Melonjak, Indonesia Kembali Cetak Surplus Dagang dengan Cina

ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/YU
Ilustrasi. Neraca dagang Indonesia yang sempat mengalami defisit dengan Cina pada Februari bahkan berbalik mencatatkan surplus pada bulan lalu US$ 201 juta.
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
18/4/2022, 17.03 WIB

Badan Pusat Statistik atau BPS mencatat ekspor ke Cina pada Maret 2022 naik 46,33% menjadi US$ 5,6 miliar, belum terpengaruh dampak lockdown di Shanghai dan beberapa kota lainnya di Cina. Neraca dagang Indonesia yang sempat mengalami defisit dengan Cina pada Februari bahkan berbalik mencatatkan surplus pada bulan lalu US$ 201 juta. 

Kepala BPS Margo Yuwono mengatakan, permintaan terhadap ekspor sebetulnya bergantung pada pertimbangan apakah komoditas ekspor merupakan kebutuhan vital bagi suatu negara atau bukan. Selama perekonomian satu negara tidak sedang dilanda krisis, maka permintaan terhadap kebutuhan pokok belum akan turun.

"Selama di sana ekonomi masih baik biasanya demand-nya terhadap komoditas utama dari Indonesia akan tetap meningkat, jadi dampaknya belum kelihatan," kata Margo. 

Margo mencatat, ekspor ke Cina secara volume juga tumbuh 50,22% dibandingkan bulan sebelumnya menjadi 20,7 miliar kg.  Cina bahkan menjadi negara dengan peningkatan nilai ekspor nonmigas terbesar pada bulan lalu sebesar US$ 1,7 miliar. "Kalau dilihat komoditasnya adalah bahan bakar mineral serta nikel dan barang daripadanya," kata Margo. 

Impor Indonesia dari Cina juga tumbuh meski  tidak setinggi kinerja ekspor. Nilai impor dari Cina sebesar US$ 5,4 miliar atau tumbuh 14,9% dibandingkan bulan sebelumnya. Secara volume juga meningkat 33,27% menjadi 2,4 miliar Kg. 

Dengan kinerja tersebut, neraca dagang RI dengan Cina pada bulan lalu berhasil mencetak surplus sebesar US$ 201 juta. Ini merupakan pembalikan setelah bulan Februari masih mencatatkan defisit US$ 909 juta. 

Sejumlah ekonom sebelumnya memperkirakan kinerja ekspor tidak akan begitu signifikan mengingat adanya sejumlah tantangan. Salah satunya berasal dari kebijakan zero Covid-19 di Cina. Pemerintahan Xi Jinping memberlakukan penguncian di sejumlah wilayah untuk memerangi Covid-19 di saat banyak negara saat ini justru mulai bersiap mengurangi restriksi dan masuk ke endemi.

Langkah pengetatan tersebut telah membebani sektor manufaktur Cina. PMI Manufaktur untuk periode Maret tercatat jatuh ke zona kontraksi dari bulan sebelumnya masih ekspansi. Indeks PMI Manufaktur Cina turun dari 50,4 poin menjadi 48,1 poin bulan lalu. Ini merupakan kontraksi paling curam selama 25 bulan terakhir.

"Perusahaan berulang kali menyebutkan bahwa langkah-langkah untuk menahan penyebaran Covid-19 telah mengganggu operasi, pasokan, dan mengurangi permintaan pelanggan. Pesanan baru juga turun pada tingkat tertajam sejak Februari 2020 di bulan Maret," demikian dalam laporan Caixin Insight Group.

Perekonomian Cina berhasil tumbuh 4,8% pada kuartal pertama tahun ini, melampaui ekspektasi pasar 4,4%. Namun demikian,  risiko perlambatan memang meningkat salah satunya dari lockdown Covid-19 yang meluas di beberapa kota.

Data aktivitas Maret menunjukkan, penjualan ritel berkontraksi bulan lalu secara tahunan karena pembatasan Covid-19 yang meluas di seluruh negeri. Itu turun 3,5%, lebih buruk dari ekspektasi untuk penurunan 1,6% atau pun dibandingkan dengan peningkatan 6,7% pada Januari dan Februari.

Reporter: Abdul Azis Said