Sri Lanka Gagal Bayar Utang di Tengah Penantian Bailout dari IMF

ANTARA FOTO/REUTERS/Dinuka Liyanawatte/RWA/dj
Ilsutrasi. Krisis ekonomi di Sri Lanka mulai merembet ke krisis sosial dan kemanusiaan.
Penulis: Agustiyanti
23/5/2022, 11.23 WIB

Sri Lanka gagal membayar utang untuk pertama kalinya dalam sejarah, akibat krisis keuangan terburuk dalam tujuh dekade terakhir. Negara ini melewatkan pembayaran utang senilai US$ 78 juta atau setara Rp 1,1 trilliun. 

Negara Asia Selatan ini telah memulai pembicaraan dengan Dana Moneter Internasional (IMF) mengenai kemungkinan pemberian dana talangan (bailout) dan tengah menegosiasikan kembali perjanjian utangnya dengan kreditur.

“Posisi kami sangat jelas, kami tidak dapat membayar hingga utang hingga dilakukan restrukturisasi. Sekarang kami dalam kondisi pre-emptive default,” ujar Gubernur Bank Sentral Sri Lanka Nandalal Weeresinghe pekan lalu, seperti dikutip dari BBC. 

Dua lembaga pemeringkat global telah menurunkan peringkat utang Sri Lanka menjadi default atau gagal bayar. Default terjadi ketika pemerintah tidak dapat memenuhi sebagian atau seluruh pembayaran utang mereka kepada kreditur.

Kondisi tersebut dapat merusak reputasi suatu negara di mata investor, mempersulitnya untuk meminjam uang yang dibutuhkannya di pasar internasional, yang selanjutnya dapat merusak kepercayaan pada mata uang dan ekonominya.

Sri Lanka sedang berusaha untuk merestrukturisasi utang kepada kreditur asing senilai lebih dari US$ 50 miliar  atau setara Rp 730 triliun agar dapat mudah mengelola dan membayarnya kembali. 

Perekonomian negara ini telah terpukul keras oleh pandemi dan kenaikan harga energi, tetapi para kritikus mengatakan krisis saat ini sebenarnya disebabkan oleh kesalahan pemerintahan sebelumnya.

Sebelum dilanda krisis, Produk Domestik Bruto (PDB) Sri Lanka menempati urutan keempat terbesar di Asia Selatan dengan nilai US$80,67 miliar. Jumlah ini turun 3,95% dari PDB-nya pada 2019 yang berjumlah US$83,99 miliar.

Profesor Mick Moore dari University of Sussex dan mantan konsultan di Sri Lanka untuk Asian Development Bank mengatakan, krisis yang dihadapi negara ini bukan hanya dampak dari masalah ekonomi global tetapi diciptakan oleh pemerintah sebelumnya. 

Ia menjelaskan, pemerintahan telah meminjam uang dalam jumlah besar untuk proyek-proyek infrastruktur dan memaksakan diri untuk membayar utang yang menumpuk daripada merestrukturisasinya dengan kreditur. Kondis ini berjalan hingga berakhir enam bulan lalu saat pengambil kebijakan telah memberikan hampir seluruh valas-nya. 

"Ini adalah inkompetensi yang mengerikan dan kini Sri Lanka menghadapi situasi yang sangat kritis,” ujarnya,

Krisis valuta asing dan inflasi yang melonjak telah menyebabkan Sri Lanka kekurangan obat-obatan, bahan bakar, dan kebutuhan pokok lainnya yang parah. Dalam beberapa minggu terakhir, terjadi protes besar, terkadang disertai kekerasan terhadap Presiden Gotabaya Rajapaksa dan keluarganya.

 

Pemerintah Sri Lanka telah mengatakan sebelumnya bahwa mereka membutuhkan sebanyak US$ 4 miliar atau Rp 58 triliun pada tahun ini.

 

Kegagalan Sri Lanka membayar utang bukan hal yang mengejutkan. Bank Sentral telah memperingatkan kemungkinan tersebut sejak beberapa pekan lalu. 

Antrean bensin yang mencapai bermil-mil di tengah limpahan pasokan di pasar gelap hingga antrean yang semakin panjang saat roti gratis dibagikan menunjukkan ketidakmampuan Negara Pulau ini untuk membayar kembali utangnya. 

Dalam wawancara pertamanya sejak menjabat pekan lalu, Perdana Menteri Sri Lanka Ranil Wickremesinghe mengatakan kepada media bahwa segala sesuatunya akan menjadi lebih buruk sebelum membaik. Namun, dia tidak dapat memprediksi seberapa buruk krisis yang terjadi di negara tersebut. 

"Tidak ada yang mendapatkan semua detailnya. Jadi, saya akan seperti dokter yang membuka pasien untuk pertama kalinya."

Bank Sentral Sri Lanka memperingatkan bahwa tingkat inflasi Sri Lanka yang sudah sangat tinggi kemungkinan akan meningkat lebih lanjut. "Inflasi sekitar 30% akan lebih tinggi lagi. Inflasi headline akan naik sekitar 40% dalam beberapa bulan ke depan," Weerasinghe. 

Prediksinya disampaikan setelah Bank Sentral Sri Lanka mempertahankan dua suku bunga utamanya tetap stabil menyusul kenaikan 7% pada pertemuan sebelumnya. Suku bunga pinjaman utama negara itu tetap di 14,5%, sedangkan suku bunga deposito dipertahankan di 13,5%.

Lembaga pemeringkat Moody's Investors Service pada pekan lalu mengatakan Sri Lanka telah gagal bayar obligasi internasionalnya untuk pertama kalinya. Moody's berharap negara itu pada akhirnya mencapai kesepakatan mengenai bailout IMF. 

"Namun, penyelesaian program kemungkinan akan memakan waktu beberapa bulan mengingat perlunya kesepakatan tingkat staf di kedua belah pihak, diikuti oleh persetujuan parlemen di Sri Lanka dan persetujuan oleh dewan eksekutif IMF," kaya Moody’s.

Pada hari yang sama, Fitch Ratings juga menurunkan penilaiannya terhadap Sri Lanka menjadi "default terbatas”. Sementara S&P Global Ratings tidak segera menanggapi permintaan komentar dari BBC.

Seorang pejabat IMF mengatakan kesepakatan perjanjian pinjaman dengan Sri Lanka diharapkan dapat rampung pada pekan depan.