Nilai tukar rupiah dibuka menguat 11 poin ke level Rp 14.661 per dolar AS di pasar spot pagi ini. Namun rupiah diramal melemah jelang pertemuan Bank Indonesia siang ini.
Mengutip Bloomberg, rupiah berbalik melemah ke Rp 14.666 pada pukul 09.15 WIB. Tetapi posisi ini masih lebih baik dibandingkan level penutupan kemarin di Rp 14.672 per dolar AS.
Mayoritas mata uang Asia lainnya melemah terhadap dolar AS pagi ini. Yuan Cina melemah 0,24% disusul dolar Singapura 0,23%, baht Thailand 0,34%, ringgit Malaysia 0,13%, peso Filipina 0,19%, won Korea Selatan 0,06% serta dolar Hong Kong dan yen Jepang kompak melemah 0,01%. Sementara rupee India menguat 0,03%.
Analis pasar uang Ariston Tjendra memperkirakan rupiah akan tertekan hari ini jelang pertemuan Bank Indonesia siang ini. Kurs Garuda diperkirakan melemah ke arah Rp 14.730, dengan potensi penguatan di kisaran Rp 14.630 per dolar AS.
"Para analis memperkirakan BI akan tetap mempertahankan suku bunga nya hari ini yang bisa mempersempit jarak dengan suku bunga the Fed," kata Ariston, Selasa (24/5).
Sejumlah ekonom memperkirakan BI masih mempertahankan suku bunga 3,5% pada bulan ini dan baru akan menaikkannya pada paruh kedua nanti. Hal ini karena dari sisi realisasi inflasi masih dalam target bank sentral.
Jika BI menahan suku bunga hari ini, jarak antara suku bunga BI dengan The Fed makin sempit. Seperti diketahui, bank sentral AS itu sudah menaikkan bunga acuannya sebesar 75 bps pada dua pertemuannya menjadi 1% dan diperkirakan akan menaikkan bunga pada tahun ini.
Di samping itu, pelemahan rupiah juga dipengaruhi tekanan inflasi yang akan menganggu pemulihan ekonomi global. Kenaikan harga komodutas akibat perang akan mendiring perekonomian global menghadapi risiko perlambatan.
"Indonesia juga akan mendapatkan dampak negatif dari pelambatan tersebut," kata Ariston.
IMF sebelumnya merevisi ke atas perkirakan inflasi tahun ini akibat perang di Ukraina. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi diperkirakan lebih rendah dari asumsi sebelum adanya perang. Sejumlah ekonom di AS juga memperkirakan ekonomi terbesar dunia itu akan menghadapi tantangan stagflasi, yakni tekanan inflasi yang menanjak tetapi perekonomian justru lesu.