Bank Dunia: Pendapatan dari Nilai Ekonomi Karbon 2021 Capai Rp 1.200 T

ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra/wsj.
Pengunjung menikmati wisata alam di Green Talao Park, Ulakan, Kabupaten Padangpariaman, Sumatera Barat, Minggu (22/5/2022).
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Yuliawati
25/5/2022, 14.31 WIB

Bank Dunia melaporkan pendapatan dari penerapan carbon pricing atau Nilai Ekonomi Karbon (NEK) global pada tahun lalu mencapai US$ 84 miliar atau setara Rp 1.199 triliun (kurs Jisdor akhir 2021 sebesar Rp 14.278/US$). Pendapatan tersebut tumbuh hampir 60% dibandingkan 2020.

"Sekarang penting untuk membangun momentum ini dan benar-benar meningkatkan cakupan dan tingkat harga untuk membuka potensi penuh penetapan harga karbon dalam mendukung dekarbonisasi yang inklusif," kata Direktur Global untuk Perubahan Iklim di Bank Dunia Bernice Van Bronkhorst dalam keterangannya, Selasa (24/5).

NEK merupakan pemberian harga atau valuasi atas emisi gaas rumah kaca (GRK) atau karbon. Ini merupakan bentuk internalisasi biaya dari eksternalitas negatif berupa GRK. Selain mengurangi emisi karbon, tujuannya juga mendorong investasi hijau dan pertumbuhan yang berkelanjutan.

Bank Dunia menyebut implementasi NEK saat ini terdiri atas dua instrumen, yakni sistem perdagangan emisi (ETS) dan pajak karbon. Pendapatan yang diperoleh dari penerapan pajak karbon pada tahun lalu mencapai US$ 28 miliar atau Rp 400 triliun. Sementara, penerimaan dari perdagangan emisi hampir dua kali lipatnya yakni SU$ 56 miliar atau Rp 799 triliun.

Pendapatan yang dikumpulkan dari perdagangan emisi pada tahun lalu berhasil melampaui penerimaan yang dikumpulkan dari penerapan pajak karbon untuk pertama kalinya. Hal ini tidak lepas karena harga karbon mencapai rekor tertinggi di banyak yurisdiksi, termasuk di Uni Eropa, California, Selandia Baru, Korea Selatan, Swiss, dan Kanada.

Pada tahun-tahun sebelumnya, penerimaan dari pajak karbon selalu menyumbang lebih dari separuh penerimaan NEK global. Pada tahun 2016 bahkan pajak karbon menyumbang hampir dua per tiga dari total penerimaan NEK. Namun, per tahun 2021, 67% dari total penerimaan tersebut berasal dari perdagangan emisi.

Sistem perdagangan emisi di Eropa yang menangguk berkah atas kenaikan harga karbon telah menyumbang 41% dari semua pendapatan NEK global tahun ini. Termasuk sumbangan besar juga dari perdagangan emisi di Selandia Baru dan program Cap and Trade di California, Amerika Serikat.

Bank Dunia juga melaporkan sampai dengan April 2022, terdapat 68 instrumen NEK yang diterapkan di berbagai negara. Instrumen tersebut di antaranya 36 ketentuan pajak karbon dan 31 sistem perdagangan emisi. Empat instrumen NEK baru-baru ini diimplementasikan yakni satu di Uruguay dan tiga di Amerika Utara. Satu negara bagian di Amerika Serikat yakni Washington, Indonesia dan Austria juga dijadwalkan segera mengimplementasikan instrumen NEK.

Seperti diketahui, Indonesia dijadwalkan mulai memberlakukan instrumen pajak karbon mulai Juli 2022. Kebijakan ini rencananya dimulai awal April kemarin. Namun pemberlakuannya ditunda selama tiga bulan dengan pertimbangan untuk menjaga momentum pemulihan daya beli masyarakat.

Di samping itu, pemerintah juga masih perlu mengharmonisasi ketentuan pajak karbon ini dengan Perpres tentang NEK. Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengesahkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang NEK pada November lalu sebelum terbang ke Glasgow, UK untuk pertemuan KTT COP26.

Reporter: Abdul Azis Said