Seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) penyandang disabilitas mental berinisial DH menggugat Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Badan Pertimbangan Aparatur Sipil Negara (BPASN) ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Jakarta atas pemecatan karena alasan absensi. Menanggapi gugatan tersebut, Kementerian Keuangan memastikan pengambilan keputusan terhadap ASN disabilitas tersebut sudah dilakukan sesuai ketentuan.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo mengatakan, pengambilan keputusan selalu dilakukan berdasarkan ketentuan yang berlaku. Namun, jika terdapat ketidaksetujuan atas keputusan tersebut, pihaknya mempersilahkan kepada pihak-pihak yang tidak setuju untuk mengajukan keberatan atau upaya hukum yang sesuai ketentuan.
"Sebagai informasi, yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri tidak terkait dengan disabilitas mental yang dialami melainkan terkait disiplin kepegawaian," kata Prastowo dalam keterangan tertulisnya kepada Katadata.co.id, Kamis (2/6).
Ia mengatakan, proses persidangan saat ini sedang berlangsung. Kemenkeu masih menunggu keputusannya yang sesuai jadwal akan dibacakan hari ini. Ia memastikan bahwa pihaknya menghormati hak dari penggugat dan akan melaksanakan apapun putusan sidang.
DH didampingi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan Perhimpunan Jiwa Sehat mengajukan gugatan kepada PT TUN pada tanggal 15 November 2021 dengan pihak tergugat yakni BPASN dan Menteri Keuangan.
Dalam laman resmi LBH Jakarta, DH diketahui menggugat Surat Keputusan menteri Keuangan RI atas pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri yang dikirimkan ke keluarganya pada Februari 2021.
Alasan pemberhentian tersebut karena DH dinilai absen dari pekerjaannya untuk beberapa periode waktu pada tahun 2020. Sementara, LBH menyebut DH tidak masuk karena tengah mengidap skizofrenia paranoid yang saat itu tidak tertangani. DH diberhentikan setelah 10 tahun lebih mengabdi di Direktorat Jenderal Pajak. Ia diketahui pernah memperoleh beasiswa master dari pemerintah Australia pada tahun 2014.
DH kabarnya baru mendapatkan penanganan dan perawatan psikologis pada pertengahan tahun lalu. Setelah kondisinya dinyatakan membaik, DH sempat mengajukan permohonan untuk dapat kembali bekerja dengan menjelaskan kondisinya dilengkapi hasil diagnosis skizofrenia. Namun, permohonannya ditolak dan disarankan untuk mengajukan banding administratif melalui BPASN.
"Tidak hanya itu, DH juga diminta mengganti kerugian negara ratusan juta rupiah karena dianggap melanggar ikatan dinas dengan pemberhentian tersebut," tulis LBH Jakarta yang bertindak selaku kuasa hukum DH dalam keterangannya pada awal April 2022.
DH kemudian mengajukan banding administratif kepada BPASN pada September 2021. Sebulan kemudian, BPASN menyatakan menolak permohonan tersebut karena dianggap telah lewat waktu alias kadaluarsa dan diminta menerima putusan tersebut. DH kemudian mengajukan gugatan melalui Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta sebagaimana yang sudah diatur dalam PP Nomor 79 Tahun 2021.
LBH Jakarta berpandangan bahwa terdapat cacat prosedur dalam penjatuhan sanksi pemberhentian oleh Kementerian Keuangan RI karena tidak didahului dengan pembentukan tim pemeriksa sebagaimana diatur ketentuan PP No. 53 Tahun 2010 yang kini telah diubah melalui PP No. 94 Tahun 2021. Pemberhentian DH dinilai hanya didasarkan oleh pemeriksaan atasan langsung.
"Hal tersebut menunjukan tidak adanya kehati-hatian dalam menjatuhkan sanksi berat bagi pegawainya yang berakibat fatal yaitu terlanggarnya hak penyandang disabilitas atas pekerjaannya," kata LBH.