Perbandingan Risiko Stagflasi Saat Ini vs Era 1970-an Versi bank Dunia

ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/rwa.
Ilustrasi. Bank Dunia melihat guncangan harga saat ini akibat pandemi dan perang menyerupai gangguan yang disebabkan oleh lonjakan harga minyak tahun 1973 dan 1979-1980.
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
9/6/2022, 15.56 WIB

Bank Dunia memperingatkan risiko stagflasi meningkat seiring memburuknya prospek perekonomian dunia di tengah tekanan inflasi terus meningkat. Dalam laporan terbarunya, Bank Dunia membeberkan beberapa perbedaan dan persamaan dari risiko stagflasi saat ini dengan stagflasi yang sempat terjadi pada dekade 1970-an.

Stagflasi merupakan kombinasi dari penurunan tajam pada pertumbuhan ekonomi sementara tekanan inflasi meningkat. Tanda-tandanya sebetulnya sudah terlihat saat ini. Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi 2022 yang akan melambat dari realisasi tahun lalu, sedangkan tekanan inflasi diperkirakan meningkat. 

Setelah dua dekade pertumbuhan ekonomi global yang kuat pada era 1950-an dan 1960-an, terjadi periode perlambatan ekoom 1970-an menandai periode pertumbuhan yang lambat tajam. Rata-rata pertumbuhan pada tahun 1950-an sebesar 5,1% dan 5,5% pada dekade 1960-an, sedangkan pada 1970-an rata-rata hanya tumbuh 4,1%. Pada saat yang sama, terjadi guncangan hebar dari kenaikan harga minyak dunia pada dekade tersebut yang mendorong inflasi dan menurunkan pertumbuhan ekonomi.

"Titik saat ini menyerupai awal 1970-an dalam tiga hal utama, yakni gangguan pasokan dan inflasi global didahului periode kebijakan moneter longgar di negara ekonomi utama, prospek melemahnya pertumbuhan dalam jangka panjang, serta kerentanan negara berkembang dan emerging market," kata Bank Dunia dalam laporannya dikutip Kamis (9/6).

Bank Dunia melihat guncangan harga saat ini akibat pandemi dan perang menyerupai gangguan yang disebabkan oleh lonjakan harga minyak tahun 1973 dan 1979-1980. Persamaan dulu dan sekarang, kebijakan moneter umumnya sangat akomodatif dalam menghadapi guncangan. Namun, belajar dari yang sebelumnya, suku bunga terlambat dinaikkan dan berujung pada perlunya menaikan bunga lebih besar dari rencana untuk menekan inflasi. 

Persamaan kedua, prospek ekonomi global saat ini juga melemah. Selama tahun 2020-an secara keseluruhan, potensi pertumbuhan global diperkirakan melambat 0,6 poin persentase di bawah rata-rata tahun 2010-an. Sebagai perbandingan, pertumbuhan global rata-rata melambat 1,2 point persentase antara 1960-an dan 1970-an dan sebesar 1,1 poin persentase selama 1980-an.

"Pelemahan struktural ini akan menyerupai perlambatan pertumbuhan yang berkepanjangan selama stagflasi tahun 1970-an," kata Bank Dunia.

Persamaan ketiga. yakni kerentanan dari negara berkembangan dan emerging market yang tinggi. Pada tahun 1970-an dan 1980-an, banyak negara berkembang mengakumulasikan hutang yang banyak saat suku bunga rendah. Namun saat itu, inflasi memanas sehingga bank sentral utama dunia kemudian menaikan bunga. Akumulasi utang yang besar ditambah kenaikan biaya bunga mendorong terjadinya serangkaian krisis utang.

Kondisinya mirip dengan saat ini. Bank Dunia menyebut akumulasi utang negara berkembang sejak tahun 2010-an sampai saat ini merupakan yang tercepat dan terbesar dalam 50 tahun. Hal ini dikombinasikan dengan tekanan inflasi yang mulai memaksa bank sentral utama dunia saat ini menaikkan bunganya. "Hal ini meningkatkan momok serangkaian krisis keuangan baru di negara berkembang dan emerging market seperti pada 1980-an," kata Bank Dunia.

Perbedaan dengan Stagflasi 1970-an

Bank Dunia juga menyebut ada beberapa siklus penting dan perbedaan struktural yang membedakan antara risiko stagflasi saat ini dengan kejadian pada dekade 1970 an. 

Pertama, guncangan kenaikan harga masih lebih kecil. Harga minyak naik tiga kali lipat dari titik terendahnya awal 2020 dan dua kali lipat sejak awal 2021. Kenaikan ini hanya dua pertiga dari yang terjadi pada tahun 1980. Selain itu, inflasi memang naik tetapi inflasi inti tetap relatif rendah di sebagian besar negara. Kondisi ini berbeda dibandingkan tahun 1979-1980 saat kenaikan inflasi yang tajam terjadi secara luas.

Kedua, bank sentral di negara maju dan banyak negara berkembang saat ini memiliki mandat yang jelas untuk stabilitas harga, biasanya berupa target inflasi secara eksplisit. Mereka telah mengadopsi prosedur operasi yang transparan dan mengumumkan kebijakan suku bunga usai rapat yang dijadwalkan secara rutin.

Ketiga, ekspektasi inflasi yang lebih baik. Inflasi inti saat ini dinilai jauh lebih tidak sensitif terhadap kejutan inflasi. Korelasi inflasi inti dengan harga impor atau harga produsen yang sensitif terhadap guncangan harga komoditas kini telah menurun signifikan.

Keempat, ekonomi saat ini dinilai sudah lebih fleksibel. Hal ini didukung liberalisasi tenaga kerja, produk dan pasar keuangan. Pada tahun 1973, kontrol suku bunga dan kredit ada di hampir semua negara OECD dan semua negara berkembang. Namun, pada tahun 2005, hampir semua negara OECD menghilangkan kontrol suku bunga dan kredit, serta telah dihapus di sekitar tiga perempat negara berkembang.

Kelima, kebijakan fiskal yang tidak akomodatif. Pada saat terjadi guncangan 1960-an dan 1970-an menandai era kebijakan fiskal yang ekspansif. Sebaliknya, saat terjadi tekanan inflasi saat ini,banyak pemerintah negara yang diperkirakan mulai menarik dukungan fiskalnya usai pandemi.

Pada tahun 2023, dua pertiga dari ekonomi maju diperkirakan akan membatalkan sebagian besar stimulusnya. Pada tahun 2024, dua pertiga negara berkembang dan emerging market diperkirakan menarik sepenuhnya dukungan fiskalnya.

"Ini kemungkinan akan menjadi penghambat utama pertumbuhan permintaan dan membantu mengurangi tekanan harga," kata Bank Dunia.

Dalam laporan Global Economic Prospects edisi Juni 2022, Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia pada 2022 menjadi 2,9% dari proyeksi sebelumnya yang sebesar 4,1%.

Reporter: Abdul Azis Said