Sinyal Resesi AS Makin Kuat, Ekonom Prediksi Terjadi pada Tahun Depan

ANTARA FOTO/REUTERS/Andrew Kelly/wsj/dj
Ilustrasi. Para ekonom memperkirakan, resesi ekonomi di AS akan terjadi karena The Federal Reserve siap mengambil langkah agresif dalam mengendalikan lonjakan inflasi.
Penulis: Agustiyanti
14/6/2022, 14.52 WIB

Sinyal resesi AS semakin kuat. Survei yang dilakukan Financial Times menunjukkan bahwa mayoritas ekonom memprediksi Amerika Serikat akan mengalami resesi ekonomi pada tahun depan.

Para ekonom percaya bahwa resesi ekonomi akan terjadi karena The Federal Reserve siap mengambil langkah agresif dalam mengendalikan lonjakan inflasi.

Bank sentral AS telah memulai apa yang akan menjadi salah satu siklus pengetatan tercepat dalam beberapa dekade. Sejak Maret, The Fed telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 0,75% dari level mendekati nol.

Komite Pasar Terbuka Federal akan berkumpul pada Selasa (14/6) waktu setempat untuk pertemuan kebijakan dua hari. Para pejabat diperkirakan menaikkan suku bunga 0,5%, kenaikan terbesar sejak 1994 dan menandakan kelanjutan dari langkah itu hingga setidaknya September.  Pasar bahkan kini khawatir The Fed akan menaikkan bunga hingga 75 bps karena inflasi Mei yang mencapai 8,6% lebih buruk dari prediksi.

Hampir 40% dari 49 responden memproyeksikan bahwa Biro Riset Ekonomi Nasional (NBER) akan mengumumkan resesi ekonomi pada kuartal pertama dan kuartal kedua 2023. Sementara sepertiga responden memperkirakan resesi ekonomi akan terjadi pada paruh kedua tahun depan. 

NBER mengkategorikan resesi ekonomi sebagai penurunan signifikan dalam kegiatan ekonomi yang tersebar di seluruh perekonomian dan berlangsung lebih dari beberapa bulan.

Menurut survei tersebut, hanya satu ekonom yang memperkirakan resesi pada 2022. Mayoritas responden juga memperkirakan pertumbuhan pekerjaan bulanan rata-rata antara 200.000 dan 300.000 untuk sisa tahun ini. Tingkat pengangguran diperkirakan stabil di 3,7%. 

Hasil survei, yang dikumpulkan antara 6 Juni dan 9 Juni ini bertentangan dengan sikap The Fed yang memastikan dapat meredam permintaan tanpa menyebabkan kerugian ekonomi yang substansial. Bank sentral memperkirakan bahwa, pengusaha di pasar tenaga kerja AS akan memilih untuk mengurangi pembukaan pekerjaan yang tinggi secara historis dibandingkan dengan memberhentikan staf jika The Fed menaikkan bunga. Ini pada gilirannya diharapkan menahan pertumbuhan upah.

Gubernur The Fed Jerome Powell  telah mengakui bahwa upaya bank sentral untuk memoderasi inflasi dapat menyebabkan "sedikit rasa sakit", yang menyebabkan perekonomian mulai melandai dan tingkat pengangguran meningkat. 

Namun, banyak ekonom yang disurvei khawatir, kenaikan bunga The Fed akan membawa dampak yang lebih buruk, mengingat parahnya situasi inflasi dan fakta bahwa kebijakan moneter perlu bergeser ke pengaturan yang lebih ketat dalam waktu singkat untuk mengatasinya.

“Ini bukan pendaratan pesawat di jalur pendaratan biasa. Ini mendaratkan pesawat di atas tali, dan angin bertiup kencang,” kata Tara Sinclair, ekonom di Universitas George Washington.

Ia menilai gagasan bahwa The Fed dapat menurunkan inflasi ke target 2% Fed tanpa menciptakan gejolak lain pada perekonomian tidak realistis.

Dibandingkan dengan survei Februari, lebih banyak ekonom kini berpandangan bahwa inflasi inti, yang diukur dengan indeks harga pengeluaran konsumsi pribadi, akan melebihi 3% pada akhir 2023. Sekitar 12% responden memperkirakan inflasi sangat mungkin tetap berada di atas 4% pada awal 2023 dan sebagian menilai inflasi tidak mungkin berkurang hingga separuhnya pada tahun yang sama.

Ketegangan geopolitik, dan kenaikan biaya energi yang mungkin menyertainya, disebut-sebut sebagai faktor yang berpotensi menjaga tekanan inflasi selama 12 bulan ke depan. Ini diikuti oleh gangguan rantai pasokan yang berkepanjangan. Pada akhir tahun, estimasi median untuk inflasi inti adalah 4,3%.

Jonathan Wright, seorang ekonom di Universitas Johns Hopkins yang membantu merancang survei tersebut, mengatakan bahwa pesimisme yang menonjol di sekitar inflasi dan pertumbuhan memiliki nada stagflasi. Namun, ia mencatat keadaannya jauh berbeda dengan tahun 1970-an, ketika istilah tersebut mewujudkan campuran yang jauh lebih buruk, yakni  inflasi dan resesi yang tinggi. 

Hampir 40% ekonom memperingatkan bahwa The Fed akan gagal mengendalikan inflasi jika hanya menaikkan suku bunga  menjadi 2,8% pada akhir tahun. Para ekonom menuntut kenaikan suku bunga 0,5% pada masing-masing dari tiga pertemuan bank sentral berikutnya pada Juni, Juli dan September sebelum mengurangi ke kenaikan 0,25% untuk dua pertemuan terakhir tahun 2022.

Beberapa responden memperkirakan The Fed akan menaikkan 0,75% pada bulan ini. 

"Kenaikan suku bunga lebih lanjut juga kemungkinan besar terjadi hingga tahun depan," kata Christiane Baumeister, seorang profesor di Universitas Notre Dame,.

Ia memperkirakan  The Fed akan menaikkan suku bunga acuannya hingga 4% pada 2023. Itu tepat di atas tingkat suku bunga acuan. Mayoritas ekonom yang disurvei percaya, ini akan menjadi puncak dari siklus pengetatan ini.

Reporter: Agustiyanti