Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Satgas BLBI) menegaskan obligor Sjamsul Nursalim masih punya utang kepada negara. Adapun pembayaran sebesar Rp 517,7 miliar hanya sebagian dari total utangnya kepada negara.
Ketua Satgas BLBI Rionald Silaban menegaskan Sjamsul memiliki kewajiban kepada negara melalui dua bank, Bank Dewa Rutji dan Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI). Sjamsul membayar Rp 517,7 miliar untuk utang melalui Penyelesaian kewajiban Pemegang Saham (PKPS) Bank Dewa Rutji.
Sjamsul pertama kali mencicil utangnya terkait Bank Dewa Rutji pada November lalu sebesar Rp 150 miliar. Pembayaran kedua dilakukan pada pekan ini sebesar Rp 367,7 miliar, dengan demikian utangnya melalui Bank Dewa Rutji sudah lunas.
"Ini bukan Bank Dagang ya, Bank Dewa Rutji itu sudah lunas, kalau BDNI menurut kami itu masih ada yang harus ditagihkan, saya lupa jumlah persisnya," kata Rio saat ditemui di Kompleks Parlemen, Kamis (16/6).
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2019 pernah menetapkan Sjamsul dan istrinya sebagai tersangka dan buron atas dugaan kasus korupsi dalam kewajiban utang BDNI dalam BLBI sebesar Rp 4,8 triliun. Namun, status ini dicabut pada 2021 seiring bebasnya mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung dari jeratan dugaan korupsi.
Adapun kuasa hukum Sjamsul Nursalim, Otto Hasibuan mengatakan bahwa kliennya telah melunasi utan BDNI terkait BLBI. Otto mengatakan, Sjamsul sudah melunasi utang BDNI melalui skema Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) pada 1998.
Keterangan itu diberikan ketika Sjamsul masih berstatus tersangka. "Pemerintah harus berani memberikan keterangan kepada KPK mengenai apa yang sebenarnya terjadi," kata Otto di Hotel Le Meridien, Jakarta, Rabu (25/7/2018).
Kilas Balik Utang Sjamsul Nursalim pada BLBI BDNI
BDNI merupakan salah satu dari 48 bank yang mendapat dana bantuan dari Bank Indonesia saat krisis moneter 1997/1998. Melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), BDNI ditetapkan sebagai Bank Take Over (BTO) untuk mendapatkan dana BLBI sebesar Rp 25,9 triliun.
BPPN kemudian menetapkan BDNI sebagai Bank Beku Operasi (BBO). Dengan status BBO tersebut, jumlah BLBI BDNI yang dialihkan BI kepada BPPN pada 29 Januari 1999 sebesar Rp 37,039 triliun.
Dalam perjalanannya, perhitungan BPPN menemukan adanya utang dari BLBI yang harus dilunasi BDNI senilai Rp 28,4 triliun. Untuk melunasi utang, Sjamsul membayarkan secara tunai sebesar Rp 1 triliun dan menyerahkan aset senilai Rp 27,495 triliun kepada perusahaan yang dibentuk BPPN, yakni PT Tunas Sepadan Investama.
Sjamsul juga menyerahkan aset berupa piutang BDNI atas petambak plasma Dipasena Citra Darmadja (PT DCD) dan PT Wachyuni Mandira (PT WM) kepada tim valuasi BPPN sejumlah Rp 4,8 triliun.
Namun, pada masa pemerintahan Presiden ketiga RI B.J Habibie tahun 1999, BPPN menyimpulkan kredit petambak digolongkan macet. Sehingga, Sjamsul diminta menambah aset untuk mengganti kerugian BPPN sebesar Rp 4,8 triliun.
Pada 2004, Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung tetap mengeluarkan surat keterangan lunas (SKL) untuk BDNI.
Pada 2017, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan penyidikan perkara pemberian SKL itu pada 20 Maret 2017. Syafruddin kemudian mulai menjalani persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 14 Mei 2018.
Isi dakwaannya, Syafruddin selaku Ketua BPPN periode 2002-2004 bersama dengan Sjamsul dan istrinya, Itjih melakukan penghapusan piutang BDNI dan merugikan negara senilai Rp 4,58 triliun.
Syafruddin dianggap telah memperkaya Sjamsul dari penerbitan SKL tersebut. Karena itu, Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada 2018 lalu memutuskan Syafruddin dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman penjara 13 tahun dan pidana denda Rp 700 juta.
Pada awal 2019, Syafruddin mengajukan gugatan ke Pengadilan Tinggi Jakarta. Dia dijatuhi hukuman 15 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar.
Kemudian Syafruddin mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung pada pertengahan 2019. MA membebaskannya dan menyatakan perbuatan Syafrudin bukan tindakan pidana. Pada 2021, KPK menghentikan penyidikan kasus Sjamsul dan Itjih dengan menerbitkan SP3.