Bank Indonesia mempertahankan tingkat suku bunga di level terendah sepanjang sejarah sebesar 3,5% di tengah langkah The Federal Reserve dan banyak bank sentral lainnya meninggalkan periode bunga murah. Sekalipun spread alias selisih suku bunga surat berharga Indonesia dengan AS dan negara lain menyempit serta dapat mendorong kaburnya modal asing di pasar obligasi, kondisi tersebut dinilai tak serta merta menyeret pelemahan rupiah.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, investor portofolio memantau pergerakkan imbal hasil alias yield dari obligasi pemerintah AS atau US Treasury sebagai pertimbangan dalam menempatkan dananya. Namun, kenaikan bunga The Fed yang agresif 75 bps pada bulan ini, menurut dia, tidak serta merta akan mengerek yield naik signifikan dengan besaran yang sama.
"Sehingga jangan kemudian membandingkan perbedaan pada bunga The Fed dan suku bunga BI, yang perlu dilihat adalah perbedaan yield SBN dengan US Treasury," kata Perry dalam Konferensi Pers Usai Rapat Dewan Gubernur BI, Kamis (23/6)
Ia mengakui bahwa aliran modal asing ke pasar modal khususnya Surat Berharga Negara (SBN) di dalam negeri semakin seret. Namun, minimnya dana asing tersebut tidak serta-merta akan melemahkan nilai tukar.
Perry beralasan, transaksi berjalan sempat surplus tahun lalu dan diperkirakan defisit tahun ini akan lebih rendah di rentang 0,5%-1,3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Neraca pembayaran secara keseluruhan juga diperkirakan surplus. Selain itu, cadangan devisa Indonesia juga dinilai masih lebih dari cukup. Ini karena modal asing yang masuk melalui investasi langsung cukup tinggi di tengah menurunnya modal asing masuk ke pasar portofolio.
"Pasokan fundamental valas kita tinggi dan itu menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Itulah mengapa meksi BI tidak menaikan suku bunga acuan, bukan berarti akan mengganggu ketahan eksternal kita," kata perry.
Di samping itu, Perry juga mengatakan, pihaknya berkomitmen untuk terus menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. BI akan memperkuat kebijakan nilai tukar di samping juga mendukung pengendalian inflasi dengan tetap memperhatikan bekerjanya mekanisme pasar dan nilai fundamentalnya.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Destry Damayanti menjelaskan, nilai tukar rupiah masih bergerak relatif stabil dibandingkan dengan mata uang negara lain. Secara tahun kalender (ytd), rupiah melemah 4,14%, lebih rendah dibandingkan India yang mencapai 5,17%, Malaysia 5,44% dan Thailand 5,84%.
BI pun memastikan akan terus menjaga stabilitas rupiah melalui kebijakan intervensi tiga lapis atau triple intervention. "Saat ini, kami punya kebijakan triple intervention, di mana kami masuk ke pasar spot, DNDF, dan pasar SBN jika kondisinya memang memaksa masuk ke sana," ujar Destry dalam acara yang sama dengan Perry.
Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah sebelumnya menilai ada urgensi bagi BI untuk segera menaikan bunga acuan. JIka BI tak mengerek bunga, ini akan berdampak terhadap tekanan di pasar keuangan.
Menurut dia, investor akan lebih tertarik berinvestasi di surat berharga AS jika BI tetap menahan bunga saat bunga acuan AS naik secara agresif. Ini karena imbal hasil surat berharga AS akan ikut terkerek. Hal ini menyebabkan aliran modal tidak masuk ke dalam negeri sehingga berpengaruh terhadap rupiah.
“BI tidak bisa lagi menunda, harus segera menaikan suku bunga sesuai ekspektasi pelaku pasar, Jika BI tidak segera menaikkannya dikhawatirkan akan memunculkan gejolak pasar,” ujarnya kepada Katadata.co.id