Indonesia membutuhkan dana hingga Rp 4.002,44 triliun untuk mencapai target penurunan emisi karbon menjadi 29% pada 2030. Kebutuhan dana tersebut naik Rp 541 triliun dibandingkan estimasi yang dikeluarkan sebelumnya.
Estimasi kebutuhan dana ini sesuai perhitungan dalam Third Biennial Update Report (BUR) yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun lalu. Estimasi tersebut berbeda dengan laporan BUR kedua 2018 sebesar Rp 3.461,31 triliun.
Adapun kebutuhan pendanaan untuk target penurunan emisi tersebut terutama dialokasikan ke sektor energi dan transportasi serta kehutanan. "Kalau dilihat third BUR, kenaikan kebutuhan untuk kehutanan dan lahan itu menjadi Rp 309 triliun dan untuk energi transportasi Rp 3.500 triliun," kata Sri Mulyani dalam acara Kongres Kehutanan Indonesia (KKI) VII, Selasa (28/6).
Kebutuhan pendanaan untuk menurunkan emuntuk kehutanan naik dari estimasi dalam second BUR sebesar Rp 77,82 triliun. Kebutuhan untuk sektor energi juga naik dari sebelunnya Rp 3.307,2 triliun.
Sektor lainnya yang juga membutuhkan dana jumbo untuk menurunkan emisi karbonnya. yaitu limbah sebesar Rp 185,27 triliun. Kebutuhannya naik dari perkiraan 2018 sebesar Rp 30,34 triliun. Sektor lainnya, yakni pertanian naik dari Rp 5,18 triliun menjadi Rp 7,23 triliun. Sektor IPPU turun dari perkiraan Rp 40,77 triliun menjadi Rp 930 miliar.
Dalam paparannya, Sri Mulyani menyebut adanya perbedaan estimasi kebutuhan anggaran dalam Second BUR dan Third BUR karena tambahan kegiatan mitigasi, kalibrasi metode estimasi dan perbedaan horizon waktu.
Ia pun mengingatkan, dibutuhkan kerja sama global untuk memenuhi butuhan pendanaan tersebut karena sokongan dari keuangan negara saja tidak cukup. Apalagi menurut Sri Mulyani, emisi yang menumpuk saat ini bukan hanya berasal dari Indonesia saja, tetapi ada andil negara lain utamanya negara maju yang lebih dahulu melakukan deforestasi dan menghasilkan emisi dari aktivitas ekonominya.
"Kita nggak boleh menanggung banyak tanggung jawab dan give too much, tanpa kita juga menjaga kepentingan nasional, itulah kunci kita di forum-forum global," kata dia.
Sri Mulyani juga menyebutkan bawah APBN sepanjang 2016-2022 konsisten mengalokasikan anggaran perubahan iklim rata-rata senilai Rp 96,78 triliun per tahun atau sekitar 4,1% dari belanja dalam APBN.
Anggaran perubahan iklim kembali naik pada tahun lalu setepah sempat turun pada tahun 2020. Namun, di balik pertumbuhannya, porsi anggaran mitigasi tergerus hingga hanya 11%. Padahal sejak tahun 2018, anggaran mitigasi biasanya menyumbang rata-rata 55% terhadap anggaran perubahan iklim.
Anggaran untuk mitigasi didominasi untuk sektor energi dan transportasi yang mencapai 82%, pertanian 10%, Limbah 5% dan sisanya kehutanan dan IPPU.