Ekonomi Sri Lanka Bangkrut, Bagaimana Dampaknya ke Indonesia?
Ekonomi Sri Lanka menghadapi tekanan berat, bahkan pemerintahnya sendiri telah menyebut kondisinya sudah runtuh total. Meski memiliki ukuran ekonomi dan hubungan dagang yang kecil dengan Indonesia, ekonom memperingatkan ada risiko yang perlu diantispiasi Indonesia.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menyebut krisis Sri Lanka memiliki dampak terbatas ke ekonomi Indonesia. Dari sisi perdagangan, ekspor ke Sri Lanka hanya mencakup kurang dari 0,2% dari total pengiriman barang Indonesia. Dari sisi Impor bahkan hanya 0,03%.
"Rendahnya nilai perdagangan Indonesia ke Sri Lanka menyebabkan perkiraan bahwa dampak langsung krisis Sri Lanka kepada perdagangan Indonesia cenderung terbatas," kata Josua kepada Katadata.co.id, Rabu (29/6).
Namun, ia menyebut krisis Sri Lanka dapat berdampak pada kenaikan harga teh global. Negara di Asia Selatan itu merupakan salah satu pengekspor utama teh dunia. Krisis bisa mengganggu produksi teh di Sri Lanka, termasuk suplai ke Indonesia.
Meski demikian, ia sebenarnya tidak begitu khawatir kondisi tersebut karena produksi dalam negeri dinilai masih bisa mengimbangi terganggunya pasokan dari Sri Lanka. Catatan Kementerian Koordinator Bidang perekonomian, Indonesia memiliki luas lahan perkebunan teh terbesar kelima di dunia pada 2020. Produksi teh Indonesia juga mencapai 138 ribu ton pada tahun tersebut, atau kedelapan dunia.
Ekonom Bank Danamon Irman Faiz juga mengatakan, Indonesia tidak banyak melakukan perdagangan dengan Sri Lanka. Meski mengirim beberapa komoditas seperti minyak kelapa, karet, besi baja dan hasil minyak ke negara tersebut, jumlahnya relatif kecil.
Salah satu ekspor paling besar adalah minyak kelapa dengan kontribusi mencapai 6%. Namun, Irman menilai Indonesia masih dapat mengalihkan ekspor ini ke negara lain.
Dampak bangkrutnya Sri Lanka kepada Indonesia dari sisi pasar keuangan pun dinilai tidak signifikan. Meski sama-sama negara berkembang, fundamental ekonomi Indonesia jauh berbeda dengan Sri Lanka.
"Tingkat utang Sri Lanka memang tinggi, beda sekali dengan Indonesia yang tingkat hutangnya masih aman. Dampaknya juga harusnya kecil karena Sri Lanka tidak banyak interaksi ke sektor keuangan baik Indonesia maupun global," kata Irman kepada Katadata.co.id.
Sementara itu, Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet melihat ada risiko dampak tidak langsung yang perlu diwaspadai, yakni peluang krisis meluas ke negara lain. Jika tidak dilakukan pemulihan pada ekonomi Sri Lanka, lambat laun krisis serupa dengan yang dialami Sri Lanka bisa bermunculan baik di Asia maupun kawasan lainnya. Ia berkaca dari fenomena Arab Spring pada 12 tahun silam.
Krisis di Arab lebih dari satu dekade silam itu mulanya diawali dari gejolak politik di Tunisia. Krisis lalu meluas ke banyak negara kawasan Arab lainnya. Kekacauan terjadi bukan hanya di sulut oleh masalah politik tapi juga ekonomi.
"Tidak menutup kemungkinan akan ada krisis-krisis lainnya. Ketika krisis itu muncul, maka konteks ke Indonesia itu yang perlu diantsipasi, karena kita sekarang berada dalam globalisasi dimana krisis yang muncul bisa berdampak ke negara lain," kata Yusuf.