Bank Dunia menyebut ekpektasi konsumen dan dunia usaha saat ini menunjukkan inflasi tinggi di Indonesia mungkin tidak bersifat sementara. Namun, ketidakpastian dari lingkungan global akan menjadi penentu berapa lama periode inflasi tinggi tersebut akan bertahan.
"Apa yang ditunjukkan dari ekspektasi bahwa itu mungkin tidak sementara seperti episode inflasi tinggi lainnya, tetapi ini bisa berubah jika lingkungan global berubah," kata Ekonom Senior Bank Dunia Wael Mansour dalam diskusi daring Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Jumat (1/7).
Namun, dia juga mengakui masih terlalu dini untuk menentukan berapa lama inflasi tinggi ini bertahan. Lama tidaknya periode inflasi tinggi salah satunya bergantung pada situasi perang di Ukraina yang telah menyulut kenaikan harga komoditas.
"Harga-harga komoditas mulai turun sedikit, tetapi masih di level tinggi," kata dia.
Inflasi tinggi akan menganggu proses pemulihan ekonomi terutama terhadap konsumsi rumah tangga. Inflasi tinggi juga bisa menganggu aktivitas dunia usaha. Namun, dampak ini juga bergantung dari faktor-faktor lain terutama respons dari sisi fiskal dan moneter.
Pemerintah saat ini mempertebal anggaran subsidi energi agar kenaikan harga tidak diteruskan kepada konsumen. Namun, menurut Wael, pemerintah tidak dapatterus-terus menanggung beban kenaikan harga. Belanja untuk subsidi dan kompensasi energi tahun ini dinaikkan jadi Rp 502 triliun.
Dari sisi moneter, bank sentral dinilai masih punya cukup ruang saat ini untuk mendukung kebijakan bunga akomodatif. BI juga sudah menaikkan rasio giro wajib minimum (GWM) dan menunggu seberapa besar dampak instrumen ini mengurangi inflasi.
"Tapi seperti yang saya katakan, Bank Indonesia telah mengumumkan bahwa tujuan utama mereka adalah menjaga stabilitas. Jadi saya pikir mereka akan memantau angka inflasi ini dengan sangat cermat sebelum membuat keputusan apa pun," kata Wael.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan inflasi pada Juni mencapai 0,61% secara bulanan atau 4,35% secara tahunan. Inflasi tahunan sebesar 4,35% telah melampaui target Bank Indonesia dan merupakan yang tertinggi sejak Juni 2017.
"Inflasi pada Juni, terutama disumbang oleh kenaikan harga pangan, seperti cabai merah, cabai rawit, bawang merah, dan telur ayam," ujar Kepala BPS Margo Yuwono dalam konferensi pers BPS, Jumat (1/7).