Benarkah Krisis Sri Lanka Terjadi karena Jebakan Utang Cina?

ANTARA FOTO/REUTERS/Dinuka Liyanawatte/hp/cf
Sri Lanka saat ini tak hanya menghadapi krisis keuangan tetapi multidimensi.
Penulis: Agustiyanti
13/7/2022, 18.32 WIB

Krisis keuangan yang terjadi di Sri Lanka menjalar menjadi krisis multidimensi, menyebabkan kelaparan hingga memicu kerusuhan. Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa bahkan telah meninggalkan negaranya, sesaat sebelum jadwal pengunduran dirinya berlangsung.

Apa sebenarnya yang terjadi dengan negara Asia Selatan ini?

Warga Sri Lanka saat ini menghadapi kekurangan pangan, obat-obatan, hingga BBM karena kehabisan cadangan devisa. Harga barang kebutuhan sehari-hari melonjak tajam, dengan inflasi mencapai lebih dari 50%. 

Pemadaman listrik semakin meluas dan layanan penting seperti bus, kereta api dan kendaraan medis tak memiliki bahan bakar yang cukup. Pemerintah Sri Lanka telah melarang penjualan bensin dan solar untuk kendaraan yang tidak penting selama dua minggu, negara pertama yang melakukannya sejak tahun 1970-an.

Sekolah telah ditutup, dan orang-orang telah diminta untuk bekerja dari rumah untuk membantu menghemat persediaan. Sistem kesehatan Sri Lanka bahkan berada di ambang kehancuran akibat kekurangan obat-obatan dan peralatan medis. 

Krisis di Sri Lanka memang dipicu oleh pandemi Covid-19 yang menghantam sektor pariwisata, sumber utama perekonomian negara tersebut. Meski demikian, para ekonom menilai kondisi Sri Lanka saat ini disebabkan kesalahan pemerintah dalam mengelola perekonomian dan keuangan negara. 

Profesor Mick Moore dari University of Sussex dan mantan konsultan di Sri Lanka untuk Asian Development Bank juga menilai, krisis yang dihadapi Sri Lanka bukan hanya dampak dari masalah ekonomi global tetapi diciptakan oleh pemerintah sebelumnya. 

Ia menjelaskan, pemerintahan telah meminjam uang dalam jumlah besar untuk proyek-proyek infrastruktur dan memaksakan diri untuk membayar utang yang menumpuk daripada merestrukturisasinya dengan kreditur. Kondis ini berjalan hingga berakhir enam bulan lalu saat pengambil kebijakan telah memberikan hampir seluruh valas-nya. 

"Ini adalah inkompetensi yang mengerikan dan kini Sri Lanka menghadapi situasi yang sangat kritis,” ujarnya.

Cina saat ini dituduh sebagai salah satu dalang krisis di Sri Lanka. Negara ekonomi terbesar kedua dunia ini adalah salah satu negara kreditur terbesar Sri Lanka. 

Dalam satu dekade terakhir, Cina telah meminjamkan Sri Lanka lebih dari US$5 miliar untuk proyek-proyek termasuk jalan, bandara, dan pelabuhan. 

Kantor berita Cina, Xinhua membantah tudingan media barat yang menyebutkan bahwa Sri Lanka terperangkap dalam jebatan utang Cina. Media tersebut menyebutkan Utang Sri Lanka ke Cina hanya mencakup 10% dari total utang luar negeri negara tersebut.

Goonetilleke, mantan duta besar Sri Lanka untuk China, mengatakan masalah negara itu terjadi karena Sri Lanka hidup di luar kemampuannya, dengan menjembatani defisit anggaran dengan pinjaman eksternal selama dua dekade terakhir. 

Selain utang, krisis di Sri Lanka juga terjadi karena defisit perdagangan yang terjadi selama bertahun-tahun. Sri Lanka mengimpor US$ 3 miliar lebih besar dibandingkan ekspornya setiap tahun dan menyebabkan negara ini kehabisan mata uang asing. 

Hal ini antara lain dipicu oleh langkah Sri Lanka yang memilih untuk fokus pada penyediaan barang ke pasar domestik daripada mencoba untuk meningkatkan perdagangan luar negeri sejak perang saudara berakhir pada 2009. Ini membuat pendapatan dari ekspor ke negara lain tetap rendah, sedangkan tagihan impor terus meningkat.

Defisit perdagangan Sri Lanka selama ini berhasil ditutupi oleh devisa dari sektor pariwisata. Masalah pun timbul saat pariwisata terpukul oleh pandemi. Cadangan devisa Sri Lanka yang mencapai US$7,6 miliar pada akhir 2019, kini hanya tersisa US$ 250 juta. 

Mantan Presiden Rajapaksa juga telah dikritik karena pemotongan pajak besar yang diperkenalkan pada 2019 menyebabkan kehilangan pendapatan pemerintah lebih dari US$ 1,4 miliar per tahun. 

Ketika kelangkaan mata uang asing Sri Lanka menjadi masalah serius di awal tahun 2021, pemerintah mencoba membatasinya dengan melarang impor pupuk kimia. Pemerintah meminta petani untuk menggunakan pupuk organik yang bersumber secara lokal sebagai gantinya.

Hal ini menyebabkan gagal panen yang meluas. Sri Lanka harus menambah stok makanannya dari luar negeri, yang membuat kekurangan mata uang asingnya semakin parah.