Sri Mulyani: Belasan Negara Berisiko Tak Bisa Bayar Utang Tahun Depan
Sejumlah tekanan ekonomi global yang muncul beberapa waktu terakhir ini berpotensi mendorong banyak negara berkembang tak mampu membayar utangnya tahun depan. Masalah ini menjadi perhatian serius dalam pertemuan para menteri keuangan dan gubernur bank sentral G20 di Bali hari ini, Jumat (15/7).
Dalam pertemuan tersebut, Menteri keuangan Sri Mulyani mengatakan, kenaikan harga komoditas, perang di Ukraina, dan pengetatan moneter menjadi tiga ancaman serius global saat ini. Risiko tersebut dapat meningkatkan utang negara-negara dunia.
"Limpahan utang yang nyata tidak hanya dapat dialami negara berpenghasilan rendah, tetapi juga di negara-negara berpenghasilan menengah atau bahkan ekonomi maju," kata Sri Mulyani di Nusa Dua, Bali, Jumat (15/7).
Ia menyebut, masalah utang suda menjadi tantangan negara-negara dunia selama dua tahun terakhir. Pandemi telah mempengaruhi ruang fiskal pemerintah yang kemudian berimplikasi pada peningkatan posisi utang.
Dengan ancaman rangkap tiga saat ini, masalah utang disebut akan makin kompleks. Ia bahkan menyebut pengelolaan utang akan 'sangat mengerikan'. Catatan Dana Moneter Internasional (IMF) menyebut sekitar 60% negara berpenghasilan rendah dan 30% negara berkembang mendekati kondisi kesulitan utang.
"Belasan negara berkembang mungkin tidak dapat memenuhi pembayaran utangnya pada tahun depan," kata Sri Mulyani.
Masalah ini meluas, pasalnya bukan satu dua negara lagi yang berisiko tapi makin banyak. Hal inilah yang menurutnya jadi isu yang perlu diperhatikan menteri keuangan dan gubernur bank sentral dunia bersama organisasi internasional dan lembaga multilateral dalam pertemuan G20 jalur keuangan pekan ini.
Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva sebelumnya juga telah mendorong Cina dan negara-negara G20 lainnya untuk mempercepat langkah pengurangan utang bagi negara-negara miskin yang mulai kesulitan membayar. Lembaga ini memperingatkan risiko besar yang mengintai jika Cina dan negara-negara kreditor tak juga bergerak.
Mengutip Reuters, Georgieva mengatakan pentingnya untuk memulai Kerangka Kerja Bersama pengurangan utang yang diadopsi oleh G20 dan kreditur resmi Klub Paris pada Oktober 2020. Kesepakatan tersebut hingga kini belum memberikan hasil signifikan.
Georgieva telah berbicara dengan Presiden Joko Widodo selama pertemuan Kelompok Tujuh bulan lalu di Jerman dan mendesaknya untuk mendorong kesepakatan yang lebih besar terkait masalah utang ini sebelum KTT para pemimpin G20 pada bulan November. Indonesia memiliki kewenangan sebagai presiden G20 tahun ini.
"Para pemimpin G20 tidak ingin berada dalam situasi di mana masalah itu mendominasi pembicaraan, hanya karena selama ini kami tidak membuat kemajuan," kata Georgieva.
Para pejabat Barat mengkritik Kerangka Kerja Umum G20 yang berlarut-larut selama hampir dua tahun terakhir, menanti persetujuan Cina sebagai negara kreditur terbesar dan kreditur sektor swasta.