Bank Sentral di Dunia Hadapi Dilema karena Covid-19 dan Perang Ukraina

ANTARA FOTO/Nyoman Budhiana/hp.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo (kiri) berbincang dengan anggota delegasi negara asing sebelum pembukaan Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral (FMCBG) G20 di Nusa Dua, Bali, Jumat (15/7/2022).
Penulis: Abdul Azis Said
17/7/2022, 13.01 WIB

Ekonomi dunia menghadapi gejolak sangat menantang mulai dari tekanan inflasi, volatilitas di pasar keuangan hingga efek Covid-19 yang masih berlangsung. Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyebut berbagai tantangan tersebut menimbulkan dilema bagi bank sentral untuk untuk mengambil kebijakan yang tepat.

Perry menyebut dunia saat ini menghadapi inflasi yang meningkat yang datangnya dari sisi penawaran, terutama gangguan rantai pasok akibat pandemi dan diperparah oleh perang di Ukraina. Kondisi ini berbeda dengan sebelumnya yang sering kali gejolak harga didorong dari sisi permintaan.

"Lalu pertanyaannya, bagaimana kita bisa mengatasinya? perlukan kita mengatasi semua itu (tekanan) dengan menaikkan bunga atau apakah juga perlu respons dari sisi supply?," kata Perry dalam acara Gala Seminar - Monetary and Financial Sector Policy to Support Stability and Recovery di Nusa Dua, Bali, Minggu (17/7).

Tantangan inflasi tersebut diperparah oleh dampak kenaikan bunga di negara maju. Seperti diketahui, bank sentral utama seperti Amerika Serikat, Kanada, hingga Inggris sudah mengerek suku bunga kebijakannya demi melawan inflasi.

Namun, Perry menyebut langkah yang diambil sejumlah bank sentral negara maju tersebut tentu akan berpengaruh terhadap ekonomi global. Kondisi ini menimbulkan dampak berupa aliran modal keluar dan volatilitas nilai tukar. Dampaknya, kenaikan bunga bukan hanya memberi solusi atas inflasi tetapi kini berisiko menciptakan efek lanjutan terhadap aliran modal dan aspek lainnya.

Di sisi lain, banyak negara masih berjuang untuk memulihkan ekonomi dari efek luka memar karena pandemi. Apalagi, belum semua dunia usaha sepenuhnya pulih, beberapa masih dalam proses perbaikan.

Kondisi tersebut menjadi pekerjaan yang sangat menantang dan kompleks bagi bank sentral di seluruh dunia. Mereka perlu  menyeimbangkan stabilitas harga  sekaligus mengatasi juga volatilitas aliran modal dan nilai tukar, tetapi tetap tidak memperburuk perlambatan ekonomi global, "Ini adalah episode yang sangat kompleks dan sangat berbeda dari masa lalu," kata Perry.

Merespon gejolak di ekonomi dan keuangan global, Bank for International Settlement (BIS) menyarankan perlunya kebijakan yang lebih holistik. Dalam laporannya yang diserahkan kepada pertemuan keuangan G20, BIS menyebut, kebijakan yang perlu diambil tak hanya di sisi moneter, tetapi lebih luas termasuk dari sisi fiskal dan lainnya.

Apalagi, kebijakan moneter saat ini juga sudah 'bekerja keras' untuk diarahkan menangani tekanan inflasi. Karenanya, perlu elemen kebijakan lainnya untuk mengatasi masalah yang kompelks tersebut.

"Tapi tentu saja, di episode kali ini, kita harus berpikir untuk melonggarkan sejumlah restriksi," kata Kepala Riset BIS Hyun Song Shin dalam acara yang sama dengan Perry.

Ia menyebut, pembuat kebijakan perlu mempertimbangkan adanya intervensi pasar yang dapat mengurangi ketatnya kondisi keuangan. Tetapi, langkah yang diambil tersebut juga harus menggunakan cara yang bijaksana, dan disesuaikan dengan kebutuhan.

Reporter: Abdul Azis Said